![]() |
Sumber gambar: elfagr.com |
Selain menjadi Nabi, Rasulullah adalah seorang suami
yang patut diteladani. Berikut beberapa perilaku dan perangai mulia Baginda
Nabi dalam berumah tangga:
Lembut dan Penuh Kasih
Rasulullah
Saw. adalah seorang suami yang sangat meninggikan kedudukan para istrinya dan
amat menghormati mereka. ‘Aisyah bercerita tentang hal ini:
Sekelompok
orang Habasyah masuk masjid dan bermain di dalamnya. Ketika itu Rasulullah Saw.
berkata kepadaku, “Wahai Humayra`, apakah kamu senang melihat mereka?”
Aku menjawab,
“Ya.”
Maka beliau
berdiri di pintu rumah. Aku menghampirinya. Kuletakkan daguku di atas pundaknya
dan kusandarkan wajahku ke pipinya. Di antara ucapan mereka (orang-orang
Habasyah) waktu itu, ‘Abu al-Qasim (Rasulullah) orang baik.’
Lalu
Rasulullah berkata, “Cukup.”
Aku berkata,
“Ya Rasulullah, jangan tergesa-gesa.”
Beliau pun
berdiri lagi untukku. Kemudian beliau berkata lagi, “Cukup.”
Aku berkata,
“Jangan tergesa-gesa, ya Rasulullah.”
Bukan
melihat mereka bermain yang aku suka, melainkan aku ingin para perempuan tahu
kedudukan Rasulullah bagiku dan kedudukanku dari beliau.”
Bayangkan
seorang istri berdiri di belakang suaminya untuk melindunginya. Kemudian sang
istri meletakkan dagunya di pundak sang suami, wajah sang istri menempel di
pipi sang suami. Sang istri meminta sang suami berdiri lebih lama untuknya.
Mereka berdiri di pintu rumah sambil memerhatikan orang-orang yang sedang
bermain di masjid depan rumah. Kemudian sang istri bertutur, “Sesungguhnya
bukan orang-orang yang sedang bermain itu yang menarik perhatianku. Bukan
pemandangan itu yang membuatku ingin berlama-lama berdiri di sini bersama
suami. Aku hanya ingin para istri tahu kedudukanku bagi suamiku dan kedudukan
suamiku bagiku.” Bersama itu, sang suami dengan sabar memenuhi permintaan sang
istri terkasih, demi cinta padanya dan guna menjaga perasaannya.
Betapa pun
banyak dan beratnya tanggung jawab yang harus dipukul Sang Rasul, beliau tidak
pernah lupa akan hak-hak para istrinya. Beliau memperlakukan mereka dengan amat
lembut dan penuh kasih. Tidak pernah sedikit pun beliau mengurangi hak mereka.
Beliaulah yang dalam salah satu haditsnya bersabda, “Kaum perempuan (para
istri) adalah saudara kandung kaum laki-laki (para suami).”
Hadits ini
menjadi dalil bahwa beliau tidak pernah menganggap kecil kedudukan para
istrinya. Beliau menempatkan mereka pada kedudukan yang setara dengan beliau
dan memposisikan mereka pada posisi yang agung. Bagaimana tidak, pada diri
seorang istri tersandang sejumlah predikat mulia: ibu, istri, saudara
perempuan, bibi, dan anak perempuan.
Pengakuan di
Depan Publik
Pada saat
banyak suami menganggap bahwa sekadar menyebut nama istri di depan orang lain
dapat mengurangi harga diri, kita mendapati Rasulullah justru menampakkan
cintanya pada para istrinya di depan umum. Shafiyah binti Huyay mendatangi
Rasulullah saw. sewaktu beliau beri’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir
bulan Ramadhan. Kemudian ia berbincang dengan beliau beberapa waktu. Ia berdiri
untuk pulang. Rasulullah pun ikut berdiri mengantarkan Shafiyah pulang. Ketika
Shafiyah dan Rasulullah sampai di depan pintu Ummu Salamah, dua orang Anshar
lewat dan memberi salam kepada Rasulullah. Kepada dua orang Anshar itu beliau
bersabda, “Perhatikanlah baik-baik oleh kamu berdua, dia ini tidak lain
Shafiyah binti Huyay.”
Tempat Bersandar
di Kala Susah
Nabi Saw.
adalah suami yang sangat memahami kondisi para istrinya, baik kondisi fisik
maupun psikis. Dua kondisi ini dari satu waktu ke lainnya dapat berubah-ubah.
Nabi Saw. sangat pandai memahami hal itu terhadap para istrinya. Maymûnah,
salah satu istri Nabi, berkata, “Suatu kali Rasulullah mendatangi salah seorang
dari kami. Salah seorang dari kami itu sedang haid. Maka beliau meletakkan
kepalanya di dada istrinya yang sedang haid itu, lalu beliau membaca
al-Qur`an.”
Pada kali
lain, Rasulullah Saw. berupaya begitu rupa menenangkan salah satu istrinya yang
sedang mengalami tekanan batin. Pada suatu hari, beliau mendatangi Shafiyah
binti Huyay. Beliau menemukan Shafiyah sedang menangis.
Kepadanya
beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?”
Shafiyah
menjawab, “Hafshah berkata bahwa aku anak orang Yahudi.”
Beliau
berkata, “Katakan padanya, suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa!”
Terlihat
bagaimana Baginda Nabi menyelesaikan masalah dengan kata-kata sederhana namun
mengandung makna yang dalam.
Selalu Siaga
Membantu Para Istri
Pada saat
banyak suami yang enggan sekadar membantu istrinya karena dianggap dapat
menurunkan reputasi sang suami, kita dapati Rasulullah Saw. tidak pernah
terlambat membantu para istrinya. ‘Aisyah pernah ditanya tentang apa yang
dilakukan Nabi Saw. di rumahnya? Ia menjawab, “Beliau selalu melayani
(membantu) istrinya.”
Bermusyawarah
Sebelum Mengambil Keputusan
Di kala
banyak suami memandang istrinya kurang akal dan agama, Rasulullah yang mulia
tidak pernah segan atau merasa keberatan mendengar serta mengambil pendapat
istrinya. Ini terlihat ketika beliau meminta pendapat Ummu Salamah dalam
perjanjian Hudaybiyah. Waktu itu beliau memerintahkan para sahabat untuk
mencukur rambut dan menyembelih hewan kurban, namun mereka tidak mau melakukannya.
Melihat respon para sahabat tersebut, Baginda Nabi masuk ke tenda Ummu Salamah.
Begitu beliau menceritakan kepada Ummu Salamah apa yang beliau terima dari para
sahabat, Ummu Salamah langsung mengajukan pendapat yang cerdas.
Ia berkata:
“Keluarlah, ya Rasulullah, kemudian engkau bercukur lalu potong hewan kurban
lalu!”
Beliau pun
keluar dari tenda, bercukur lalu memotong kurban. Melihat hal itu, sontak para
sahabat bangkit; mereka serempak bercukur lalu memotong hewan kurban.
Tetap Santun
Meski Saat Marah
Di kala
tidak sedikit para suami yang ringan tangan kepada para istri saat mereka
melakukan kesalahan, kita mendapati Sang Nabi tetap bijak, lembut, dan santun
dalam memperlakukan para istrinya saat terjadi silang-pendapat atau
perselisihan antara beliau dan mereka. Ketika kemarahan beliau agak tinggi,
maka pergi menjauhi istri untuk sementara waktu menjadi pilihannya. Tidak
pernah beliau menampar satu pun dari istrinya. Beliau menjauhi para istrinya
pada saat mereka mendesaknya menuntut nafkah.
Bahkan
ketika Rasulullah berniat mencerai salah satu istrinya, kita mendapati beliau
tetap santun, lembut dan penuh kasih. Sawdah binti Zam’ah yang sudah tua, tidak
cantik, dan berbadan gemuk, merasa bahwa jatahnya dari hati Rasulullah hanya
rasa kasihan, bukan cinta. Rasulullah pun kemudian berpikir untuk menceraikan
Sawdah secara baik-baik guna membebaskannya dari keadaan yang dianggap
membebaninya dan memberatkan hatinya. Dengan sabar Rasulullah menunggu sikap
dan jawaban Sawdah atas niat beliau untuk menceraikannya.
Kesantunan,
kesabaran dan keterkendalian diri Nabi saw. tetap terpelihara, bahkan ketika
ujian terberat menerpa dan mengguncang rumah tangga beliau, yaitu saat terjadi
apa yang disebut hadits al-ifk. Sikap Nabi kala itu sungguh merupakan teladan
bagi setiap Muslim. Ketika hadits al-ifk ini tersebar, dengan kelembutannya yang
khas dan tidak pernah luntur, Rasulullah berbicara kepada ‘Aisyah:
Amma ba’d.
Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya telah sampai kepadaku tentangmu begini dan begitu.
Jika kamu bebas (tidak melakukannya), maka Allah akan membebaskanmu, dan jika
kamu pernah melakukan dosa maka mohonlah ampun kepada Allah dan tobatlah
kepada-Nya.
Sampai
akhirnya Allah menurunkan ayat pembebasan yang membuat tenang dan gembira hati
Nabi, ‘Aisyah dan kaum Muslim semuanya.
Dikutip dari alif.id
0 komentar:
Posting Komentar