![]() |
Sumber gambar: newsklikpositiif.com |
Al-Qur’an
sebagai firmanTuhan tentu memiliki kandungan yang sangat ekstensif dan mendalam. Artinya, ada beragam paradigma dan interpretasi
di setiap ayatnya. Hal itulah yang diaksentuasikan oleh Syekh Ibrahim al-Kurani
dalam kitabnya Ithaf al-Dzaki, tidak sekadar memahami dari terjemah literal
saja.
“Terjemah
itu lahir saja, tetapi dalam memaknai Al-Qur’an itu ada makna lahir dan batin (dzu
al-wajhain),” jelas Oman Fathurahman, guru besar filologi Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saat Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara
(Ngariksa) di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (6/12) malam.
Lebih dari
itu, Oman juga mengulas Syekh Ibrahim dalam karyanya tersebut menulis bahwa
makna Al-Qur’an memiliki batasannya, tetapi juga ada keleluasaan di dalamnya.
“Di satu sisi dibatasi, pada sisi lain ada keleluasaan juga,” katanya.
Artinya, ia
menggarisbawahi agar tetap haus akan makna setiap ayatnya, tidak terpaku pada
satu pemahaman belaka sehingga pengetahuannya semakin meluas. “Pesan utamanya janganlah
merasa baru belajar Al-Qur’an sebentar, baru membaca terjemah saja cukup.
Jangan! Mari, kita lanjutkan membaca tafsirnya,” ajaknya.
Akademisi
alumnus Pesantren Cipasung, Tasikmalaya itu mengajak para penyimak dan para
pendai di luas sana untuk membaca karya-karya tafsir Nusantara, seperti karya
Syekh Abdur Rauf Singkel, yakni Tarjuman al-Mustafid.
Syekh
Ibrahim memberi penjelasan lebih lanjut dengan mengutip pernyataan Sayidina Ali
kepada Ibnu Abbas ketika mengutusnya untuk menemui Khawarij. Ia meminta
Abdullah bin Abbas itu berdebat dengan mereka tanpa berhujah dengan Al-Qur’an.
Hal itu mengingat pandangan mengenai Al-Qur’an sangat beragam sehingga ia
meminta agar berhujah dengan menggunakan sunnah. “Al-Qur’an itu punya banyak
sisi, tidak akan ada ujungnya, saking luasnya Al-Qur’an,” jelas Oman mengutip
pernyataan Ibnu Abbas.
Bahkan,
saking luas dan mendalamnya Al-Qur’an, Sayidina Ali bin Abi Thalib menyatakan
mampu menempatkan penjelasan surat Al-Fatihah pada 70 unta. “Kalau saya mau
meletakkan di Surat Al-Fatihah di 70 unta itu bisa,” katanya sebagaimana
dikutip oleh Syekh Ibrahim dalam kitab Syarah atas al-Tuhfah al-Mursalah karya
Syekh Burhanpuri itu.
Oleh karena
itu, Oman mengajak agar terus senantiasa belajar mengingat sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu Abbas, Al-Qur’an tidak memiliki ujung maknanya.
Contoh makna
lahir dan batin (dzu al-wajhain)
Dalam
memaknai ayat fakhla’ na’laika, bukan sekadar mencopot sandal belaka
secara lahir. Ada makna lain di balik itu. Syekh Ibrahim menyatakan bahwa
meyakini ada makna lain, yakni makna batinnya, bukan berarti menegasikan makna
lahirnya. ‘Yang bisa menggabungkan keduanya (pendapat) orang yang sempurna,”
katanya.
Sebab, orang
yang mampu melakukan hal tersebut tidak lain karena memahami pirantinya,
berbagai keilmuan yang mendukung pemahaman tersebut. Syekh Ibrahim ini, jelas
Oman, merupakan orang yang ahli hadis dan juga tasawuf.
“Menghimpun
kedua pendapat itu lebih diunggulkan ketimbang mengunggulkan salah satu
pendapat,” jelasnya.
Di samping
itu, pemahaman terhadap suatu hadis yang menyatakan bahwa malaikat tidak akan
masuk pada rumah yang di dalamnya ada anjing juga tidak hanya makna lahir
belaka. Ada juga yang memaknainya secara batin. Orang yang terakhir ini
memaknai anjing bukan secara lahir binatang anjing, melainkan sifat marah.
“Mengosongkan
rumah hati dari sifat marahnya anjing. Karena sesungguhnya marah itu mencegah
makrifat yang berasal dari cahaya malaikat,” terangnya.
Dikutip dari nu.or.id
Agar pembaca dapat mengulas lebih dalam, kami sajikan versi luring
(offline) kitab Ithaf al-Dzaky pdf pada link di bawah ini
0 komentar:
Posting Komentar