Di dalam
Surat Al-Baqarah ayat 223 Allah berfirman:
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا
حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
“Istri-istri kalian adalah ladang bagi kalian. Maka
datangilah ladang kalian dari mana pun kalian mau.”
Ayat tersebut sangat sering dibaca dan dijabarkan
penjelasannya oleh para mubaligh di acara-acara resepsi perkawinan atau walimatul
ursy. Hanya saja pada umumnya para mubaligh menjelaskan kandungan ayat
tersebut sebagai bagaimana cara seorang suami melakukan hubungan biologis
dengan istrinya. Seorang istri yang dalam ayat tersebut diibaratkan sebagai
ladang maka seorang suami dipersilakan menggaulinya dengan cara apa pun yang ia
mau selain melalui jalan belakang.
Padahal bila kita pelajari lebih lanjut melalui ayat
tersebut para ulama mufasir memberikan pendidikan yang sangat penting untuk
diperhatikan oleh pasangan suami istri baik yang baru saja menikah maupun yang
telah lama mengarungi bahtera rumah tangga. Bahkan boleh jadi pendidikan
penting ini lebih penting lagi bagi para pemuda yang belum menikah dan masih
mencari seorang perempuan yang didambakan menjadi pasangan hidupnya.
Imam Qurtubi misalnya menjelaskan bahwa yang dimaksud
“ladang” pada ayat itu adalah farji atau kemaluan perempuan. Disamakan demikian
karena menjadi tempat untuk menyemaikan benih keturunan.
Syaikh Tsa’lab bersyair:
انَّمَا الأرحام أرض ... ون لَنَا مُحْتَرَثَاتُ
Rahim-rahim adalah bumi bagi kita tempat menanam. Kewajiban
kita menanaminya, dan Allah yang menumbuhkan tumbuhannya. Kemaluan perempuan
adalah bumi yang ditanami, sperma adalah benih, sedangkan anak adalah
tumbuhannya.
Demikian Imam Qurtubi menyampaikan dalam tafsirnya Al-Jami’
li Ahkamil Qur’an. Senada dengan itu juga disampaikan oleh Ibnu Hayan dalam
Al-Bahrul Muhith-nya.
Bila dilihat dari sisi hukum dengan perumpamaan yang
demikian maka tidak diperbolehkan melakukan persetubuhan di selain kemaluan
karena bukan tempatnya untuk menanam.
Dari sisi yang lain ayat itu kiranya juga hendak
mewartakan bahwa seorang perempuan sangat berpengaruh dalam menentukan baik dan
buruk anak-anaknya di kemudian hari. Baik-buruknya anak-anak sebagai generasi
masa depan sangat dipengaruhi oleh baik buruknya seorang seorang ibu dalam
mendidik anak-anaknya. Sebagaimana dalam ilmu pertanian disebutkan bahwa
kondisi tanah sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya sebuah tanaman.
Seorang ibu yang memiliki kedekatan dengan Allah
dengan taat beribadah, berakhlak mulia, berilmu cukup dan sifat-sifat baik
lainnya akan melahirkan dan menciptakan generasi yang berkualitas. Sebaliknya,
seorang ibu yang jauh dari sifat dan sikap yang baik akan melahirkan dan menciptakan
generasi yang tak berkualitas. Bagaimana akhlak seorang ibu akan berpengaruh
pada anak-anaknya. Saleh tidaknya seorang ibu akan ikut menentukan saleh
tidaknya anak-anak yang dilahirkannya.
Maka wajar bila Rasulullah menganjurkan seorang
laki-laki memilih seorang perempuan untuk menjadi istrinya dengan kriteria
beragama dengan akhlak yang mulia. Wajar pula bila banyak ulama kita yang
menganjurkan kepada santrinya yang sudah berkeinginan menikah untuk tidak
sekadar memilih calon istri untuk dirinya tapi juga untuk menjadi ibu bagi
anak-anaknya.
Dikutip dari islam.nu.or.id
0 komentar:
Posting Komentar