![]() |
Sumber gambar: www.pewartanusantara.com |
Kenapa Filsafat?
“Mungkinkah ... pendidikan kita
mengabaikan pendidikan rahsa? ... Dalam bahasa filsuf John Henri Newman,
yang menaruh minat besar pada pendidikan, rahsa itu mungkin semacam illative
sense. Illative sense adalah bagian intelektual manusia yang dapat
mengandaikan adanya kompleksitas suatu objek, dan adanya pelbagai kemungkinan
manusia mengambil sikap terhadap objek tersebut. Illative sense itu
mirip dengan phronesis dari Aristoteles, yakni semacam kebijaksanaan untukmengakui
segala keterbatasan pengetahuan kita, tanpa kehilangan kepastian bahwa kita dapat
berbicara tentang kebenaran. Pendeknya, pendidikan rahsa, illative
sense, atau phronesis itu akan membuat kita jadi tahu diri.”
Tak selalu saya bisa menemukan sebuah
rumusan yang begitu padat, bernas, lagi amat mendalam, bahkan dalam
tulisan-tulisan kelas satu para penulis terkemuka. Kutipan dari tulisan
Sindhunata yang saya peroleh lewat posting salah seorang anggota suatu
milis yang saya ikuti di atas (“Mengapa Kita Menjadi Kekanak-kanakan?”) adalah
di antara yang sedikit itu. Inilah sebuah rumusan yang layak masuk dalam
buku-buku model Quotable Quotes. Sebuah kebenaran perenial yang melintasi
zaman, agama, peradaban, dan kebudayaan. Layaknya ilham, visiun, atau bahkan sebuah
orakel, ia adalah cahaya yang menembus dan memecah kegelapan masalah-masalah
besar kemanusiaan. Saya sedang mendramatisasi?
Perkenankan saya mengisahkan
“pertemuan” saya dengan “revelation” Pak Sindhunata.
Kutipan di atas segera dapat dilihat
sebagai mengandung dua unsur yang berkaitan. Pertama, pengakuan terhadap
kompleksitas berbagai persoalan kemanusiaan. Kompleksitas itu, dan keterbatasan
kemampuan manusia menguasainya, lalu mengandaikan keterbukaan terhadap variasi
persepsi, penafsiran dan, akhirnya, perbedaan pendapat. Kedua, sifat
relatif persepsi, penafsiran, dan pendapat seseorang itu tak lantas mengharuskan
kita kehilangan kepercayaan terhadap adanya kemungkinan bahwa, di satu sisi,
yang disebut suatu kebenaran itu benar-benar ada; dan bahwa, di sisi lain,
manusia mungkin mencapainya—betapapun mencapai di sini mesti ditafsirkan
sebagai (makin) mendekati.
Unsur kedua memang harus segera
disusulkan jika pengakuan terhadap keterbatasan pemikiran manusia vis a vis
kompleksitas persoalan persoalan yang dihadapinya tak hendak mendorong kita
untuk terjerumus ke dalam Sofisme kuno atau solipsisme modern.
Mengapa terasa begitu profound
ungkapan Pak Sindhunata di atas? Menurut saya, pertama sekali, banyak—kalau tak
malah semua—masalah besar kemanusiaan sebenarnya muncul dari kegagalan kita
untuk melihat kenyataan kompleksnya masalah-masalah itu. Kita cenderung
melakukan simplifikasi, terkadang kita pakai kacamata kuda, pada saat lain,
kita mengidap miopi. Bukan itu saja. Yang lebih parah lagi, batas-batas yang
kita paksakan atas persoalan yang sejatinya kompleks itu sering merupakan wujud
sikap-sikap egotistik dan egoistik kita.
Oleh karena itu, selain berisiko menghasilkan
rumusan pemecahan masalah yang keliru, kita pun cenderung bersikap fanatik-mati-matian
membela pendapat kita tanpa menyadari bahwa pendapat kita itu berpeluang salah.
Ada semacam spirit religiusitas dalam makna negatif di dalamnya. Padahal, jika
kelompok masing-masing mengambil sikap begini, yang terjadi adalah suatu pergulatan
yang saling memusnahkan, bukan suatu dialektika yang dinamis, apalagi sebuah
sinergi. Akibatnya, kemampuan kemanusiaan untuk mengatasi persoalan-persoalan
yang dihadapinya makin mundur saja. Sebaliknya dari menjadi makin dewasa,
peradaban pun menjadi seperti meluncur turun kembali ke masa kanak-kanaknya—yang
mengenai inilah sebagian besar tulisan Sindhunata berbicara.
Kita pun melihat betapa kemanusiaan
sekarang seperti kehilangan kontrol atas kekuatan-kekuatan historik yang
mempermainkannya tanpa ia mampu berbuat banyak untuk mengarahkannya. Sejarah pun
menjadi semacam gergasi besar yang menghantam kemanusiaan dari segala arah
hingga ia babak belur dibuatnya. Timbullah kebingungan dan keputusasaan di
mana-mana. Kalau tak cukup inteligen untuk memilih lari ke suatu “relativisme saintifik”,
akhirnya kelompok-kelompok manusia yang tak sabar dan tak punya stamina cukup
ini memilih untuk mengikatkan diri ke dalam berbagai macam totaliterianisme,
baik politik maupun keagamaan—entah itu fundamentalisme atau paguyuban-paguyuban
mistikal yang menjanjikan kepastian-kepastian secara gampangan.
Sejumlah lebih besar orang seperti
ini terjebak ke dalam konflik-konflik yang makin jauh dari suatu resolusi yang
bisa diterima berbagai pihak yang bertikai. Banyak orang bijak menyatakan bahwa
kemampuan kita untuk menyelesaikan konflik-konflik yang kita hadapi lewat jalan
damai makin lama makin merosot. Fenomena-fenomena seperti ini kita lihat
menonjol di berbagai tataran kehidupan, hubungan antarbangsa, regional, maupun
domestik. Pertikaian antarsuku, antarkelompok politik, dan antaragama yang
menonjol belakangan ini di negeri kita kiranya bersumber dari kegagalan melihat
masalah sebagai suatu kompleksitas seperti ini.
Oleh karena itu, kiranya sudah
waktunya—seperti peringatan Pak Sindhunata—kita menoleh kembali ke
kebijaksanaan kuno phronesis, ke pengembangan illative sense, ke
penajaman-kembali rahsa. Inilah sebuah pekerjaan mahabesar yang makan
waktu panjang. Apakah lantas ini sebuah utopia? Kalaupun jawabannya ya,
persoalan-persoalan mahabesar yang dihadapi kemanusiaan saat ini kiranya memang
membutuhkan sesuatu yang tak bisa kurang dari sebuah utopia. Sebuah antitesis
terhadap egoisme dan egotisme yang cupat dan miopik.
Di sinilah, filsafat bisa mengambil
peran penting. Seperti ujaran seorang filosof, “Dalam filsafat, Anda selalu
bisa menemukan pandangan-pandangan yang bertentangan tentang masalah apa saja.”
Membingungkan? Boleh jadi. Akan tetapi, hal itu bisa kita lihat sebagai ajaran
mengenai kompleksitas segala permasalahan yang kita hadapi dan, pada
gilirannya, mengajar kita untuk tak pernah merasa benar sendiri dan bersikap arrivée
(merasa selesai), serta mudah merasa puas dengan yang superfisial.
Namun, sebelum lebih jauh, ada
baiknya jika di sini saya uraikan secara serba-sedikit apa yang dimaksud dengan
filsafat. Banyak definisi telah diberikan orang mengenai istilah ini, sejak zaman
para filosof Yunani hingga masa kita sekarang ini. Namun, untuk keperluan kita
sekarang, saya akan memberikan definisi populer yang sejalan dengan common
sense. Yakni, filsafat adalah suatu disiplin ilmu mengenai hakikat-terdalam
segala sesuatu dengan menerapkan prosedur berpikir ilmiah, yakni metode
logis-analitis, seraya memanfaatkan bahan-bahan dan hasil-hasil pemikiran yang
absah. Karena tujuannya untuk memahami hakikat-terdalam segala sesuatu—atau,
segala sesuatu sebagaimana adanya yang hakiki—maka terkadang disebutkan bahwa
kegiatan berfilsafat bersifat radikal (berasal dari kata radix, sebuah
kata bahasa latin yang bermakna “akar”). Filsafat tak mungkin berhenti pada
gejala permukaan. Sebaliknya, filsafat menggali sedalam-dalamnya akar-akar yang
berada di bawah gejala-gejala permukan tersebut. Itu sebabnya, filsafat
cenderung memasukkan ke dalam cakupannya pembahasan tentang Tuhan, metafisika,
kosmogoni dan kosmologi, psikologi, dan berbagai aspek terdalam kehidupan
manusia di muka bumi. Meskipun demikian, filsafat, di satu sisi, berbeda dari
teologi karena tak memulai dari keimanan kepada doktrin keagamaan dan, di sisi
lain, berbeda dari sains karena tak menjadikan verifikasi (pegujian) empiris
(eksperimental) sebagai bagian dari prosedurnya. Memang, filsafat tak
memasukkan prinsip korespondensi (empiris) sebagai bagian verifikasi atas hasil
hasilnya, melainkan koherensi (logis). Inilah sebabnya kenapa filsafat termasuk
ke dalam kelompok ilmu-ilmu budaya (humaniora, humanities). Berbeda dari
ilmu sosial yang mengandalkan pada penelitian-penelitian dan pembuktian empiris,
filsafat—betapapun bukannya tak memanfaatkan hasil-hasil pengamatan empiris
sebagai bahan pemikiran—berhenti pada spekulasi-spekulasi.
Betapapun demikian, istilah spekulasi
di sini tak boleh dipahami sebagai dugaan-dugaan yang bersifat sembarang
(arbitrer). Justru sebaliknya, filsafat dikenal dengan kesetiaannya yang luar biasa
kepada prosedur berpikir yang ketat (rigorous). Bahkan, dari filsafatlah
sesungguhnya prinsip logika—yang belakangan menjadi soko guru metode
saintifik—berasal. Filsafat memang dapat saja memanfaatkan secara langsung ataupun
tidak langsung bahan-bahan yang disuplai dari sumber-sumber lain dan
memanfaatkan daya-daya lain dalam meraih pengetahuan—termasuk ajaran agama,
ataupun apa yang diyakini sebagai kebenaran-kebenaran mistikal. Namun, dalam
filsafat hal itu hanya dibatasi pada tahap perolehan pengetahuan, sementara
dalam tahap verifikasi semua aliran filsafat setia pada prinsip korespondensi
logis tersebut. (Untuk pemaparan lebih jauh mengenai berbagai masalah yang terkait
dengan sifat-sifat filsafat ini, khususnya yang terkait dengan filsafat Islam,
silakan baca bab-bab awal buku ini). Karena semua sifat-sifatnya ini, maka
filsafat menyimpan potensi untuk dapat membantu penyelesaian problem-problem
dasar kemanusiaan. Bahkan, dikatakan bahwa filsafat bisa menyelesaikan
problem-problem konkret dalam kehidupan manusia. Mengingat, berbagai krisis
yang tengah kita hadapi sekarang (krisis-krisis ekonomi, politik, kepemimpinan,
disintegrasi, moral, kepercayaan, budaya, lingkungan, dan sebagainya) bermula
dari atau setidaknya berkorelasi erat dengan, krisis persepsi yang terjadi di
benak kita.
Betapa banyak perdebatan ilmiah,
khususnya sebagaimana yang ditangkap dalam berita-berita media massa, hanya
mengupas permukaan persoalan. Pembahasan dan diskusi yang terjadi kerap bersifat
superfisial (dangkal), atomistik, terpilah-pilah, dan simplistik (terlalu menyederhanakan).
Wacana tentang isu-isu seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan gender tidak
jarang malah counter productive karena tidak tergalinya muatan-muatan filosofis
yang menjadi asumsi dasar isu-isu tersebut. Dalam bahasa posmodernistik, tanpa
berfilsafat kita secara tak sadar bisa terjebak dalam logosentrisme, ke dalam
bias-bias yang menyertai setiap wacana. Bukan itu saja. Filsafat, lewat metodologi-berpikirnya
yang ketat mengajari orang untuk meneliti, mendiskusikan, dan menguji kesahihan
dan akuntabilitas setiap pemikiran dan gagasan—pendeknya, menjadikan kesemuanya
itu bisa dipertanggungjawabkan secara intelektual dan ilmiah. Tanpa itu semua,
bukan saja wacana-wacana yang dikembangkan akan bersifat dangkal (superfisial) dan
tak bisa dipertanggungjawabkan, diskusi yang terjadi pun akan tidak produktif,
dan bersilangan.
Bagaimana dengan Kaum Muslim?
Salah satu sumber keprihatinan kita
terhadap kondisi psikososial umat Islam kontemporer adalah lambatnya kelompok
ini mentas dari “masa pubertas” intelektualnya. Hal ini ditandai dengan ciri
terobsesinya sebagian umat dengan simbol-simbol formalisme-legalistik,
pemahaman keagamaan yang simplistik, kurangnya apresiasi terhadap penafsiran
rasionalistik atas agama, dan kecenderungan untuk merasa benar sendiri—yakni dalam
kaitannya dengan kemungkinan dialog antar maupun interkeyakinan (inter and
intrafaith dialogues). Di sisi lain, kelompok lain umat yang sebenarnya
lebih siap untuk mengambil sikap terbuka tampak gamang dalam menghadapi tantangan
realitas zaman yang menuntut kemampuan apropriasi, yaitu kemampuan memahami,
dan mengambil dari orang lain tanpa hanyut ke dalamnya.
Sebagai gantinya, sebagian dari kita
pun terdorong untuk mengambil jalan pintas dan mudah, yakni bersikap eksklusif terhadap
sumber-sumber kebijaksanaan dan pengetahuan di luar lingkungannya seraya
mengobral cap sesat dan berbahaya. Atau, kalau tidak, sebagian yang lain malah
cenderung mengorbankan jati-diri kita di altar sekularisme atau pluralisme
keagamaan radikal. Di sini, lagi-lagi, filsafat bisa mengambil peranan, yaitu
untuk membuka wawasan berpikir umat untuk bersikap lebih sophisticated, adil,
dan apresiatif dalam meneliti berbagai agama dan kepercayaan yang dianut oleh
berbagai kelompok manusia. Dengan cara ini, diharapkan umat Islam lebih siap
untuk memajukan nilai-nilai keterbukaan, pluralitas, dan inklusivitas sehingga
dapat melihat hikmah-hikmah yang mungkin dipungut dari berbagai sumber—suatu
sikap yang jelas-jelas dianjurkan oleh agamanya sendiri.[]
Cuplikan bab 1 Buku Saku Filsafat
Islam karya Haidar Bagir. Pembaca dapat mengeksplor lebih dalam tentang isi
buku dengan mendownload lik pdf di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar