![]() |
Sumber gamabr: islam.nu.or.id |
Tuhan kita
berkata: Sujud dan mendekatlah (QS Al-‘Alaq [96]: 19).
Sujudnya
badan kita adalah mendekatnya jiwa kita. —Jalaluddin Rumi
SAYA tulis
rangkaian tulisan sederhana ini untuk beberapa tujuan:
Pertama, untuk diri saya sendiri. Umur saya hampir setengah
abad saat ini. Tapi, kenikmatan dan penghayatan shalat— saya memohon ampun
kepada Allah—belum benar-benar saya rasakan. Terkadang, meski rasanya saya tak
pernah meragukan kewajiban melakukan shalat dan kebijaksanaan Zat yang
mewajibkan syariat ini, saya bahkan bertanya-tanya: mengapa shalat demikian
ditekankan dalam ajaran Islam dibanding dengan penanaman dan praktik akhlak
mulia, atau aktivitas-aktivitas konkret melakukan perbaikan dan membantu orang
lain di berbagai bidang kehidupan?
Kedua, saya mendapati sekelompok Muslim, termasuk di negeri
kita, yang mulai kehilangan keyakinan kepada shalat sebagai suatu unsur penting
dari keislaman seseorang. Orang-orang yang menyebut diri mereka liberal ini,
sampai-sampai sejauh mempromosikan semacam fideisme Islam. Yakni, beragama,
dalam hal ini ber-Islam, sebatas keimanan personal— dan “rasional”—tanpa
ritual-ritual.
Ketiga, saya juga mendapati, di tengah kegairahan orang kota
untuk bertasawuf dan mengikuti berbagai paguyuban tarekat, ada kecenderungan
untuk menekankan spiritualitas tanpa ritus. Mereka, sebagaimana yang dituduhkan
oleh sebagian orang yang anti tasawuf, merasa telah lebih mementingkan hakikat
(hubungan manusia dengan Allah) daripada syariat (kewajiban-kewajiban
ritual)—seolah-olah hakikat sedemikian dapat dicapai tanpa syariat. (Dan
seolah-olah para sufi besar yang menjadi panutan berbagai tarekat itu tak
mementingkan syariat, khususnya shalat).
Nah, saya
mendapati cara yang paling efektif untuk merespons ketiga hal di atas adalah
dengan menyajikan suatu rangkaian tulisan yang dapat menjelaskan hakikat dan
makna shalat yang sebenarnya, lebih dari sekadar memahaminya dengan pemahaman
superfisial biasa. Yakni, pemahaman yang, meski sepenuhnya bersandar pada
Al-Quran dan Sunnah, bersifat rasional, intelektual, dan spiritual. Karena,
meski barangkali terkadang ada juga yang mengingkari shalat semata-mata sebagai
wujud sikap khâlif tudzkar (berbeda agar diingat), atau cuma malas saja,
sebagian lainnya mungkin memang belum dapat memahami dan merasakan nilai dan
manfaat shalat.
Dari sini,
terbayanglah dalam pikiran saya bahwa buku ini, selain mengungkapkan penafsiran
yang lebih menukik terhadap ritus shalat, juga menyajikan pandangan para sufi
atau ‘ârif (gnostik, ahli pengetahuan ruhani atau batin), yang tak bisa
dibantah kedalaman perenungan mereka. Penyajian pandangan kaum sufi atau ‘ârif
ini sekaligus dapat merespons sedikitnya dua masalah yang saya sebutkan di awal
tulisan ini. Yakni, memuasi keperluan personal saya, mengingat saya adalah
peminat dan pengagum pemikiran para sufi seperti ini, dan mengingat para
pengikut tarekat tersebut di atas tak akan dapat mengelak dari menghormati
pandangan para tokoh ini (kecuali kalau mereka merasa lebih bijak dari para
sufi itu). Saya menyisipkan pula pandangan Ibn Sina yang, meski seorang filosof
yang rasional, dikenal pula dengan kecenderungan sufistik atau ‘irfaninya.
Dengan
mengungkapkan pemahaman seperti ini, diharapkan bukan saja kita akan dapat
menangkap dengan lebih baik hakikat dan makna shalat, kita dapat juga menginternalisasikan
perenungan kaum sufi dan ‘ârif tersebut di dalam diri kita agar kita
benar-benar dapat mengalami pertemuan dengan Allah Swt. lewat ibadah yang satu
ini. Karena, bukankah pertemuan dengan Allah inilah yang menjadi tujuan puncak
pelaksanaan shalat, dan juga puncak dari upaya mujâhadah kaum sufi dan ‘ârif
ini? Saya sendiri, ketika menuliskannya, merasa mendapatkan tambatan yang kuat,
dalam pemikiran dan pandangan kaum sufi ini, bagi upaya untuk dapat melakukan
shalat dengan khusyuk atau dengan kehadiran hati, mengingat—seperti akan
dibahas di dalam salah satu tulisan dalam buku ini juga—kekhusyukan merupakan
syarat bagi shalat yang sesungguhnya.
Namun, jika
boleh, baiklah saya sampaikan di sini sedikit peringatan—saya enggan untuk
menyebutnya nasihat—yang saya petik dari pengalaman saya sendiri. Betapapun
secara mental dan spiritual kita telah mampu sedikit banyak memahami hakikat
dan nilai shalat, tetap saja suatu disiplin yang kuat diperlukan untuk ini.
Karena, di samping kemampuan pikiran dan ruhani kita untuk menyugesti tindakan,
ada juga kekuatan lain—biasa disebut sebagai dorongan keburukan atau bisikan
setan—yang akan menghalang-halangi sugesti itu untuk terwujud dalam kenyataan.
Disiplin inilah yang perlu terus diasah dan dilatih agar pada akhirnya jiwa
kita benar-benar dapat menaklukkan kecenderungan untuk tidak menjalankan ajaran
dari Sang Mahabijak ini. Inilah yang dalam tasawuf disebut sebagai riyâdhah atau
tarbiyah nafsiyyah (latihan atau pendidikan kejiwaan).
Mudah-mudahan,
dengan pemahaman yang benar, niat yang kuat, dan disiplin yang merupakan buah
dari latihan-latihan yang keras, Allah akan mengaruniakan kepada kita
penghayatan dan kenikmatan shalat, dan berbagi manfaat yang dapat kita peroleh
darinya.
Sumber: Kata
pengantar buku “Buat Apa Shalat” karya Haidar Bagir
Pembaca dapat
mengunduh versi luring (offline) pada link pdf di bawah ini
0 komentar:
Posting Komentar