 |
Sumber gambar: desainart.net |
Mengapa
Jalaluddin Rumi menjadi penyair paling populer di Amerika Serikat (AS) saat
ini? Padahal Ia sudah wafat lebih dari 800 tahun lalu. Ia juga berasal dari
komunitas Muslim. Sementara Islam kini menjadi agama paling tidak populer di
AS, dibandingkan agama besar lain.
BBC
Culture Oktober 2014 mencoba mengulasnya, walau hanya sepintas. Buku puisi Rumi
terjual jutaan kopi di AS, melampaui penyair kontemporer paling hebat dunia
barat sekalipun. Puisinya dibacakan bukan saja di masjid, tapi juga di gereja,
sinagog dan universitas Yang membaca puisi Rumi bukan hanya komunitas sastra
serius. Para selebriti dunia ikut membacanya, seperti Madona, Demi Moore, Depak
Chopra.
Ada
apa dengan Rumi? Namun yang lebih penting lagi, ada apa dengan kita yang tetap
menyukai penyair dari abad pertengahan itu?
Andrew
Harvey seorang akademisi agama banyak menulis soal Jalaluddin Rumi. Ujarnya,
Rumi mengkombinasikan tiga hal sekaligus. Ia mempunyai visi spiritual yang
mendalam sekelas Budha atau Jesus. Ia juga memiliki renungan intelektual yang
luas seperti Plato. Dan Ia juga mahir dalam menemukan kata-kata indah seperti Shakespeare.
Gabungan
ketiganya membuat Rumi bukan saja relevan bagi dunia modern. Namun kedalaman
visi spiritualnya, keluasan daya jangkau intelektualnya, dan keindahan puisinya
tetap sulit terlampaui oleh penyair lain.
Rumi
lahir di tahun 1207, di kota Balkh, yang sekarang ini menjadi wilayah
Afganistan. Di usia 37 tahun, ia berjumpa dengan Shams Tabrizi, seorang
mistikus. Selama tiga tahun mereka intens sekali berhubungan. Setelah itu,
Shams menghilang tanpa jejak dan berita.
Aneka
analisa dibuat untuk menjelaskan hubungan Rumi dan Shams Tabrizi. Sebagian
menyatakan Shams adalah guru spiritual yang sangat dikasihi Rumi. Kepadanya
Rumi banyak sekali belajar. Perjumpaan keduanya sering dikisahkan dengan aneka
hal gaib.
Satu
versi menyatakan Shams datang ketika Rumi sedang membaca buku. Shams bertanya
apa yang anda baca. Dengan tak peduli Rumi menjawab, “anda tak akan mengerti.”
Lalu
oleh Shams buku itu ia buang ke Sungai. Terburu Rumi menyelamatkan buku itu
yang terendam di sungai. Ia kaget bukan kepalang. Ternyata buku itu sama sekali
tidak basah.
Rumi
balik bertanya kepada Shams: mengapa buku ini tidak basah? Padahal buku ini kau
ceburkan ke sungai? Shams menjawab seperti jawaban Rumi sebelumnya: Anda tak
akan mengerti.
Hubungan
Rumi dan Shams begitu intens dan mesra. Sebagian menyatakan Shams adalah
kekasih homoseksnya. Hilangnya Shams bahkan digosipkan karena ia dibunuh oleh
orang dekatnya Rumi akibat kisah cinta homoseksual itu. Tapi tak pernah ada
kepastian kebenaran soal homoseks tersebut.
Perjumpaan
dengan Sham dan hilangnya sang guru secara misterius menjadi api dan bara dua
buku penting Rumi: Diwan-e Shams dan Masnawi. Dua buku puisi ini buah
perjalanan batin Rumi hampir 30 tahun, dari saat ia berusia 37 tahun, saat
pertama berjumpa dengan Shams, sampai kematiannya di usia 66 tahun.
Diwan
Shams buku cinta Rumi kepada Sang Guru. Kadang Sang Guru di sini berbentuk
Shams Tabrizi. Kadang Sang Guru itu kiasan dari Tuhan. Buku ini terdiri dari
3,229 puisi dengan jumlah kalimat sebanyak lebih dari 40 ribu.
Sementara
Masnawi puncak dari karya Rumi tentang perjalanan spiritual yang lebih umum.
Masnawi dikerjakan Rumi lebih dari 15 tahun. Ia terdiri dari enam buku. Buku
keenam tak kunjung selesai ketika Rumi wafat. Total buku Masnawi terdiri lebih
dari 50 ribu baris.
Tapi
mengapa Rumi penyair yang wafat 800 tahun lalu tetap menjadi penyair paling
populer di masa digital kini?
Tentu
analisa bisa beragam. Salah satunya manusia modern era digital semakin menjadi
desa global. Mereka membutuhkan landasan spiritual dan moral universal bersama
untuk semua. Ilmu pengetahuan sudah memberikan banyak. Namun kebutuhan meaning
of life bagi sebagian tak bisa dipenuhi semata oleh ilmu pengetahuan.
Dunia
modern tetap menyediakan agama dan aneka kepercayaan. Tapi ketika agama yang
ada semakin menjadi formal dan melahirkan sekat-sekat primordial, sebagian
membutuhkan spiritualitas yang mengatasi sekat itu.
Rumi
menjadi suara spirtualitas universal yang melampaui sekat. Walau datang dari
tradisi Islam, Rumi mampu membuatnya universal, tanpa batas primordial. Dalam bahasa Rumi, ia menyelam
jauh ke akar dari akar dari akar agama sehingga sampai pada hati yang
menyatukan semua manusia.
Puisinya
tidak memihak satu agama, seperti, “Agamaku adalah cinta. Setiap hati rumah
ibadahku.” Atau ketika Rumi menulis, “Kucari Tuhan di Candi, Gereja dan Masjid.
Namun kutemukan Tuhan justru di dalam hatiku.” Bahasa cinta Rumi gunakan. Itu
membuatnya universal melampaui formalitas agama.
Banyak
pula penyair dan pemikir lain menyatakan hal yang sama dengan Rumi. Namun Rumi
tetap yang paling mampu merumuskannya dengan sederhana, dalam dan indah.
Persoalannya
dimana mencari buku Diwan dan Masnawi itu? Seandainyapun ia mudah ditemukan di
era internet, siapakah yang cukup menyediakan waktu membaca total sekitar 100
ribu baris puisi?
Padahal
banyak sekali renungan indah dalam dua buku besar itu. Selama ini dua buku
besar itu hanya dibaca oleh akademisi yang berminat atau penikmat sastra yang
serius saja.
Bagaimana
dengan jutaan orang awam yang tak punya minat sebesar itu? Mereka tak punya
waktu sebanyak itu? Namun mereka tetap memerlukan pencerahan yang sama?
Tiada
yang mengatur atau merekayasanya. Setiap kebutuhan akan melahirkan responnya.
Kini bertebaran di internet aneka kutipan dan potongan puisi Rumi. Bahkan
sebagian sudah divideokan.
Saya pun
ikut ikhtiar ini. Awalnya ia menjadi hobi belaka dan pengisi waktu luang saja.
Namun semakin saya intens bersentuhan dengan Rumi, semakin saya ingin
mengerjakan sesuatu di sana secara lebih serius.
Saya
bukan pelukis, tak berniat dan tak pula berbakat menjadi pelukis. Saya hanya
membutuhkan medium yang pas, sebagai ekspresi batin saja.
Saya pun
tak bermasalah jika keseluruhan karya yang disajikan dalam buku kecil ini disebut coretan digital belaka, yang
belum bernilai seni. Atau ada yang mengkategorikannya sebagai lukisan digital,
atau seni editing foto, atau puisi bergambar, atau gambar berpuisi. Namun saya
lebih senang menyebutnya Lukisan Digital Berpuisi.
Semua
karya yang saya buat tak pula dimaksudkan untuk aneka target besar: mencerahkan
dunia, dan sebagainya, dan sebagainya.
Karya
ini dibuat hanya sebagai ekspresi batin saja. Setelah melalui aneka tahap,
bentuk seperti sekarang itu yang paling sesuai dengan kebutuhan ekspresi saya.
Di
dalam 44 karya itu, selalu ada kutipan puisi dari Jalaluddin Rumi. Kutipan
puisi posisinya paling sentral sebagai pesan karya.
Walau
sebagi teks kutipan saja, isi puisi sudah sangat kuat. Namun tambahan
visualisasi akan semakin memperkaya. Apalagi gambar dapat menceritakan seribu
kata, ujar peribahasa.
Saya
tak melatih diri dengan ketrampilan melukis, memakai kuas, pensil, atau apapun.
Namun software komputer sudah memudahkan siapapun untuk berkreasi dengan foto,
warna, bentuk, dengan begitu cepatnya.
Toots
komputer bisa menggantikan sapuan kuas dan arsir pensil. Layar handphone bisa
menggantikan kanvas. Cak minyak, teknik arsir atau tinta air bisa digantikan
oleh ikon warna di software.
Obyek
foto juga tersedia dengan aneka topik dan aneka ragam di internet. Saya
menggunakan semua obyek yang ada di internet selaku perpustakaan terlengkap
yang pernah ada. Semua foto yang digunakan dalam 44 karya ini juga bukan karya
saya. Mereka dari internet dan saya olah, gabungkan, edit, untuk mendapatkan
imaji baru, agar sesuai dengan pesan puisi.
Siapakah
yang disasar oleh karya ini? Saya bahkan tak memikirkan kepada siapa karya ini
diperuntukan.
Ibarat
burung, saya berkicau saja menikmati pagi dan sore. Saya hanya mengekspresikan
suasana batin saja setelah membaca puisi Rumi.
Namun
setelah karya selesai, tergambar segmen publik bagaimana yang sesuai dengan
karya ini. Tentu pastilah pasar yang
sesuai bukan komunitas seni yang serius. Bukan pula para kritikus yang sudah
matang dengan tekak tekuk teori dan sejarah lukisan. Itu semua jatahnya para
seniman sejati, yang hidupnya memang total untuk seni.
Yang
mungkin paling bisa menikmati karya saya adalah publik awam biasa. Mereka tak
tak punya waktu panjang untuk membaca utuh Karya Rumi. Namun renungan Rumi harta
tak ternilai untuk santapan rohani.
Mereka
memang tak bisa hidup hanya dengan roti belaka. Mereka butuh renungan, sentuhan
hati, inspirasi dan meaning of life.
Namun
mereka hanya punya waktu 3-10 menit untuk menikmati sebuah karya. Mereka tak
bisa dan tak bersedia
misalnya menghabiskan 5 jam untuk intens membaca sebuah buku puisi atau novel.
Segmen
ini asyik didekati dengan kutipan renungan yg diperkaya oleh photo Art, atau
visual art.
Tapi
apakah karya yang saya buat ini ada gunanya? Adakah manfaatnya? Ada guna atau
tidak itu biarlah menjadi “kesunyian masing-masing.” Seperti kata Rumi:
“Berkicaulah seperti burung. Tak usah peduli apakah ada yang mendengar. Tak
usah peduli apa yang mereka pikirkan.”
Karya
ini awalnya memang hanya hobi saja. Namun alhamdulilah jika bisa menyentuh hati
satu orang sekalipun.
(Dikutip
dari pengantar buku “Agama Cinta: Jalaluddin Rumi Dalam Lukisan Digital” karya
Denny JA)
Agar
pembaca dapat mengulas lebih dalam, kami sajikan versi luring/ offline pdf di
atas pada link pdf di bawah ini