![]() |
Sumber gambar: nu.or.id |
Suatu ketika saat Abu Hamzah as-Sufi (w. 883/902 M)
berada di rumah sufi lain, al-Harits al-Muhasibi (w. 857), dia mendengar ayam
jago berkokok. Kejadian biasa yang terjadi menciptakan situasi ilahiah bagi Abu
Hamzah.
“Hamba
Memenuhi Panggilan-Mu, Wahai Tuhanku,” sontak ia berkata.
Ucapan
ini secara lahiriah “aneh”, karena seakan ia menjadi jawaban bagi si ayam.
Pantas bagi Al-Harits al-Muhasibi dengan pemikiran di atas menegur Abu Hamzah
dengan keras:
“Kalau
kamu tidak bertobat atas perilakumu, maka aku akan membunuhmu.”
Tentu
saja Al-Harits al-Muhasibi tidak hendak membunuh Abu Hamzah. Malahan, dalam
kisah ini, Abu Hamzah balik menegur Al-Harits al-Muhasibi bahwa jika Al-Harits
tidak mampu menemukan makna batin dari ujaran ekstase ini, maka hendaknya dia
tidak mengizinkan dirinya hidup dalam kemewahan seperti yang dia jalani.
Padahal Al-Harits hidup dalam kemewahan, artinya dia berada dalam makam tinggi
di antara para sufi, sehingga kemewahan itu tidak merusak kezuhudannya
(Salamah-Qudsi 2018).
Makna Akhlak
“Celethuk”
yang hampir tanpa dipikirkan terlebih dahulu dari Abu Hamzah merupakan
perwujudan dari akhlak. Sang Sufi nampaknya selalu dalam kondisi mengingat
Allah Swt, sehingga dia merasa mendapat peringatan Tuhan meskipun yang
“memanggil” adalah seekor ayam.
Kata
“akhlak” berasal dari bahasa Arab yang tersusun dari tiga huruf dasar kho’,
lam, dan qaf. Ibnu Manzur dalam Lisaanul ‘Arab ketika menjelaskan
kata “khalaqa” merelasikannya dengan sifat Allah sebagai “al-Khaaliq”, Sang
Pencipta. Allah swt. mencipta (khalaqa) artinya Allah swt. memulai penciptaan
sesuatu tanpa contoh sebelumnya. “Khalq” di sini adalah awal dasar penciptaan
makhluk, termasuk manusia. Hewan yang berpikir ini memiliki dua aspek sejak
awal penciptaan, aspek fisik lahiriah disebut “khalq”, dan aspek batin disebut
“khuluq”.
Akhlaq
dalam bahasa Arab adalah bentuk plural dari “khuluq”. Tepat apa yang dikatakan
al-Jurjani dalam kitab at-Ta’rifat:
“Khuluq
(akhlak) adalah sebutan bagi kondisi batin yang menancap kuat sehingga
menghasilkan perilaku dengan mudah tanpa adanya usaha berpikir lebih dahulu…
bila perilaku yang muncul itu dinilai indah secara akal maupun syariat, maka
itu disebut ‘khuluq’ (akhlak) terpuji. Sedangkan bila perilaku yang muncul
adalah perilaku yang buruk, maka kondisi batin yang melahirkan perilaku itu
disebut ‘khuluq’ (akhlak) tercela.”
Dari
sini kita bisa lebih memahami hadis yang dinisbahkan kepada Nabi saw. bahwa
beliau berkata “Sungguh aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang terpuji”.
Akhlak yang mana Nabi saw. diutus untuk menyempurnakannya adalah kondisi batin,
ahwal-ahwal batiniah, yang melahirkan sikap-sikap terpuji.
Yang Kini Hilang
Teringat
akan “dawuh” Kiai Baha’udin Nursalim (Gus Baha’) tentang hakikat sunah Nabi
saw. yang rata-rata adalah perilaku yang tumbuh dari akhlak terpuji. Beliau
menyitir jawaban Sayidah Aisyah ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah saw.
Sang Istri menjawab bahwa telah menetap kukuh dalam diri Rasulullah
akhlak-akhlak al-Quran. Gus Baha’ melanjutkan dengan menyitir bait-bait kasidah
Barzanji. Bahwa akhlak Nabi saw. itu mudah memaafkan, selalu punya niat
baik kepada seluruh manusia, sering melakukan ihsan (melakukan tindakan lebih
baik daripada yang beliau terima dari orang lain). Akhlak semacam ini sudah
menghilang di masa kini.
Termasuk
di antara sunah Nabi saw. yang telah hilang adalah pemaknaan terhadap berkah.
Misalnya, seorang sahabat mengundang Nabi datang ke rumah. Untuk apa? Untuk
shalat. Tujuannya apa? Agar berkah dari bekas shalat Nabi itu memenuhi rumah,
lalu dijadikan tempat khusus shalat bagi sahabat tersebut. Adakah sekarang yang
memberikan pemaknaan berkah semacam ini?
Akhlak
Nabi saw. berujung pada perilaku beliau. Lebih dari sekadar memakai serban,
yang merupakan sunah memang, namun mudah dibeli dengan harga sepuluh ribu
rupiah. Sunah yang bukan merupakan jawaban Sayidah Aisyah ketika ditanya
tentang akhlak beliau.
Saya
menulis ini sebagai katarsis ide-ide untuk pengantar perkuliahan akhlak-tasawuf
yang akan saya sampaikan di UIN Walisongo Semarang tahun ajaran 2019-2020 ini.
Saya pikir ini bukanlah mata kuliah yang mudah disampaikan, mengingat
contoh-contoh yang hidup dengan akhlak semacam ini tidak mudah dijumpai, bukan?
Dikutip
dari alif.id
0 komentar:
Posting Komentar