![]() |
Sumber gambar: tirto.id |
Syahdan, Ibnu Sina hendak mempelajari buku Metafisika karya
Aristoteles. Berulangkali ia membaca buku itu, tetapi tak kunjung mengerti.
Secara tidak sengaja, Sina kemudian menemukan buku Fi Aghradh Kitab ma ba’da
ath-Thabi’ah li Aristhu karya Al-Farabi. Melalui buku itu barulah Sina
memahami uraian-uraian Aristoteles dalam Metafisika.
“.. Tatkala hendak mempelajari ilmu ketuhanan al-‘ilm al-ilahi, dan
berusaha membaca buku Ma ba’da ath-Thabi’ah karya Aristoteles, saya
tidak dapat memahaminya, bahkan saya samar terhadap maksud dari penulisan buku
itu…” kata Sina dilansir dari M. Hadi Masruri dalam Ibn Thufail.
Alfarabi dianggap sebagai filsuf Islam pertama yang secara sungguh-sungguh
mengkaji filasafat Yunani klasik. Kemampuannya memahami, menjabarkan, serta
mengkomparasikan filsafat Yunani klasik Plato dan Aristoteles dengan filsafat
Islam membentuk reputasinya sebagai salah satu filsuf kaliber dunia. Ia punya
julukan terhormat: The Second Master atau Guru Kedua setelah
Aristoteles.
“Karya ilmiah atau filsafat Alfarabi terutama mengenai komentar dan
tafsirnya terhadap karya Plato dan Aristoteles membentuk reputasinya sebagai
filsuf besar di samping Aristoteles. Alfarabi dikenal sebagai 'Guru Kedua',”
tulis Muhsin Mahdi dalam pengantar buku Alfarabi Philosophy of Plato an
Aristotle.
Kecemerlangan pemikiran Alfarabi membentang dalam berbagai bidang. Mulai
dari bahasa, kimia, militer, astronomi, ketuhanan, ilmu alam, fiqih, musik,
manthiq, dan filsafat. Dia seorang penulis yang sangat produktif. Bibliografer
tradisional menyebut Alfarabi telah menghasilkan 100 karya dalam bentuk
risalah, naskah, dan buku. Dia menulis setidaknya delapan belas buku tentang
filsafat etika, politik, dan masyarakat.
Beberapa karyanya adalah Al-Jami’u Baina Ra’yani Al-Hkiman Afalatoni Al
Hahiy wa Aristho-thails (pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan
Aristoteles). As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan). Arro’u
Ahli Al Madinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan), As
Syiasyah (ilmu politik). Ihsha’u Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu). Al-Madinah
Al Fadhilah (Kota atau Negara Utama). Buku Alfarabi yang berjudul Ihsha’u
Al Ulum merangkum berbagai teori keilmuan yang mencakup bahasa, matematika,
mantik (logika), fisika politik, hukum, dan ketuhanan.
Tema-tema tersebut mungkin sudah muncul sebelumnya, tetapi yang membuat
buku itu istimewa adalah kemampuan Alfarabi mengawinkan ilmu-ilmu tersebut
dengan teori keislaman seperti fiqih (hukum Islam) dan ilmu kalam
(aqidah) yang popular masa itu.
Ciri yang menonjol dari filsafat Alfarabi adalah penggabungan antara
filsafat Aristoteles, Plato, dan Neoplatonisme dengan pemikiran Islam bermazhab
Syiah Imamiyah. Aristoteles memengaruhinya dalam hal logika dan fisika. Plato
memengaruhinya dalam pemikiran ahlak dan politik. Sedangkan dalam masalah
metafisika ia dipengaruhi oleh Plotinus. Alfarabi percaya bahwa pada dasarnya
berbagai aliran filsafat meskipun tampak berbeda tetap memiliki satu tujuan
yakni kebenaran.
Pemikiran Alfarabi tentang Negara
Filsafat Alfarabi tentang negara banyak dipengaruhi oleh Plato,
Aristoteles, dan Ibnu Rabi. Pada intinya Alfarabi berpendapat manusia adalah
makhluk sosial yang memiliki kecenderungan bermasyarakat. Hal ini karena
manusia tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerjasama
pihak lain.
Uraiannya dalam kitab Al-Madinah Al Fadhilah (Kota atau Negara
Utama), menjelaskan masyarakat ibarat tubuh manusia, jika salah satu organ
sakit maka bagian tubuh lain akan merasakan sakit. Oleh karena itu setiap
individu di masyarakat harus mendapat bagian pekerjaan yang sesuai dengan
kemampuannya masing-masing.
Pembagian tugas individu sangat ditentukan oleh kepala negara. Ibarat
jantung dalam tubuh manusia, kepala negara menjadi sumber aktivitas, peraturan,
teladan, informasi, dan petunjuk agama masyarakat.
Maka dari itu, negara yang baik bagaikan orang yang sehat karena
pertumbuhan dan perkembangannya teratur di antara satu unsur dengan unsur
lainnya. Sedangkan negara yang bangkrut adalah ibarat orang sakit karena kurang
pertumbuhan dan perkembangan yang teratur.
Alfarabi percaya tujuan manusia bermasyarakat adalah untuk meraih
kebahagiaan tertinggi. Yakni kebahagiaan yang tidak saja bersifat materiil
(duniawi) tetapi juga spiritual (ukhrawi). Pendapatnya ini menyangkut tujuan
hidup beragama sebagai seorang muslim di masyarakat.
Lantas siapa orang yang pantas memimpin negara? Alfarabi menyebut ada
setidaknya tiga tipologi manusia yang berhak menjadi kepala negara. Mereka
ialah filsuf, raja dan nabi. ketiganya dianggap Alfarabi sebagai orang pilihan.
Filsuf menurut Alfarabi ialah mereka yang tidak saja memiliki
intelektualitas teori tapi praksis, rasional, dan kritis. Pandangan ini agaknya
dipengaruhi oleh Plato yang menganggap masyarakat ideal adalah masyarakat yang
dipimpin filsuf. Sebab filsuf mengerti makna hidup serta memahami hal-hal yang
baik dan buruk. Masyarakat awam mungkin bisa membedakan baik dan buruk tetapi
mereka tidak sekritis filsuf. Sehingga kepemimpinan masyarakat ataupun negara,
menurut Plato, sebaiknya diserahkan kepada filsuf.
Tipologi pemimpin kedua menurut Alfarabi adalah raja yang memiliki garis
keturunan penguasa dan loyalitas tentara. Raja yang menjadi kepala negara juga
mesti memiliki ciri-ciri filsuf.
Ketiga, tipologi pemimpin negara menurut Alfarabi ialah nabi. Jika
legitimasi kepemimpinan filsuf didapat dari kekuatan penalaran, raja dari
kekuatan tentara dan garis keturunan, maka nabi meraih legitimasi kepemimpinan
dari moral dan kecintaannya terhadap rakyat.
Terlepas dari tiga tipologi tersebut, Alfarabi percaya bahwa seorang
pemimpin haruslah memiliki sejumlah syarat: tidak cacat fisik, memiliki daya
pemahaman yang baik, memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, orator yang
pandai mengemukakan pendapat dan beretorika, mencintai pendidikan dan pendidik,
tidak serakah terhadap makanan, minuman, dan wanita, mencintai kejujuran dan
membenci kebohongan, berjiwa besar, tidak memandang penting kekayaan dan
kesenangan dunia, mencintai keadilan dan membenci kezaliman, serta tanggap dan
mudah diajak menegakkan keadilan.
Misteri Pribadi Alfarabi
Kendati memiliki pemikiran briliant dan karya yang gemilang
melampaui zamannya, akan tetapi kehidupan pribadi Alfarabi cukup sulit untuk
dilacak. Dibandingkan sejumlah filsuf besar Islam lainnya seperti Ibnu Sina dan
Ibnu Khaldun, latar belakang keluarga, kehidupan awal, dan pendidikan Alfarabi
lebih mendekati misteri.
Sukarnya melacak kehidupan pribadi Alfarabi terjadi karena ia tidak pernah
menuliskan autobiografinya. Ini berbeda dengan Ibnu Sina yang mendiktekan
autobiografinya kepada murid kesayangannya al Juzjani atau Ibnu Khaldun yang menulis
sendiri otobiografinya.
Sumber-sumber yang menceritakan kehidupan Alfarabi akhirnya sukar
divalidasi. Keabsahan, kebenaran, dan orisinalitas data tentangnya masih
bersifat sementara dan sangat mungkin direvisi ketika ada data akurat yang
lebih bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Salah satu contoh kesimpang-siuran hidup Alfarabi adalah tentang tahun
kelahirannya. Dr. Ahmad Daudy dalam Kuliah Filsafat Islam menyebut
kelahiran Alfarabi adalah tahun 872 Masehi. Harun Nasution dalam Falsafat
& Mistisisme dalam Islam menunjuk angka 870 Masehi. Sedangkan Osman
Bakar dalam Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu Menurut
Al-Farabi, Al-Ghazali, Quthb al-Din al-Syirazi menulis tahun kelahiran
Alfarabi pada 890 Masehi.
Kontroversi itu pada akhirnya juga merembet ke asal-usul keturunan atau
kebangsaan pemilik nama lengkap Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tharkhan
ibn Auzalagh Alfarabi ini. Ada yang menyebut Alfarabi berkebangsaan Persia dan
ada pula yang menyatakan ia keturunan bangsa Turki. Hal ini karena sang ayah
Muhammad ibn Tharkhan adalah seorang Jenderal berkebangsaan Persia dan ibunya adalah
wanita keturunan Turki.
Meski begitu, merujuk nama yang melekat pada dirinya, Alfarabi diduga lahir
di Kota Farab, Provinsi Transoxiana, Turkistan. Tepatnya di desa kecil bernama
Wasij. Konon ia menghabiskan masa remajanya di desa tersebut.
Sejak kecil Alfarabi digambarkan memiliki kecerdasan istimewa dan bakat
besar dalam menguasai pelajaran. Ia disebut-sebut bisa berbicara dalam tujuh
puluh macam bahasa dengan empat bahasa utama yakni Arab, Persia, Turki, dan
Kurdi.
Kehausannya tentang ilmu membawanya ke Baghdad, Syiria, dan Mesir. Ia pernah
mengajar di Aleppo. Alfarabi meninggal di Damaskus pada tahun 339 H atau 950 M.
Beberapa karyanya mengenai pemikiran filsafat Aristoteles diterjemahkan ke
dalam bahasa Latin pada zaman pertengahan.
Terlepas dari segala kontroversi hidup pribadinya, Akhmad Satori dan
Sulaiman Kurdi dalam Sketsa Pemikiran Politik Islam menyebut ada
setidaknya tiga alasan mengapa kontribusi Alfarabi di bidang filsafat pantas
mendapat perhatian. Pertama, Alfarabi adalah filsuf politik Islam par
excellence. Filsuf-filsuf Muslim yang datang setelahnya terbukti tak banyak
beranjak dari apa yang telah dikembangkan oleh Alfarabi. Hal ini seperti diakui
oleh para filsuf penerusnya baik dari kalangan Islam seperti Ibnu Sina, Al
Razi, Al-Thusi maupun non-Islam seperti Maimonides dan Ibn Gabirol mengakui
bahwa kualitas filsafat Al-Farabi khususnya di bidang politik sulit dilampaui.
Kedua, para peneliti percaya pemikiran Alfarabi cukup berhasil
mengakomodasikan ajaran-ajaran Islam ke dalam filsafat klasik meski cukup
kontroversial. Ketiga, pemikiran Alfarabi muncul di abad pertengahan namun
seperti diungkapkan Ibrahim Madkour, seorang ahli filsafat Islam terkemuka –
pemikiran Alfarabi mengandung pengertian-pengertian modern bahkan kontemporer.
Dikutip dari tirto.id
0 komentar:
Posting Komentar