 |
Sumber gambar: kembangin.com |
Kekhasan
Islam Nusantara bila dibandingkan dengan karakter Islam di seluruh dunia,
barangkali memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Islam Nusantara sejak awal
kedatangannya, telah memberikan suatu warna yang khas pada mayoritas muslim di
berbagai daerah. Ketika Islam bersentuhan langsung dengan budaya lokal, maka
bisa dipastikan tercipta suatu pola keagamaan yang berbeda satu sama lain
sehingga semakin memperkaya khazanah keislaman dalam konteks budaya lokal. Hal
inilah yang mungkin memunculkan berbagai varian keagamaan sesuai dengan
karakter etnisitas kebangsaan yang beragam dan menghasilkan tipologi tersendiri
bagi pola-pola keagamaan masyarakat di suatu daerah.
Islam
sebagai doktrin memang tidak bisa ditentang ketunggalannya, namun Islam akan
memiliki beragam penafsiran ketika bersentuhan dengan situasi masyarakat yang
beragam pula. Islam dapat ditafsirkan berwajah plural sesuai dengan karakter
keberagamaan masyarakat. Begitu pula dengan keberagamaan masyarakat Islam
Nusantara yang memiliki corak maupun pemahaman yang berbeda sehingga
memunculkan tipologi tertentu dalam soal praktik ritual maupun corak
tradisional-modernis yang mewarnai identitas-lokalitas masyarakat. Keberagamaan
masyarakat muslim Nusantara tentu saja banyak dipengaruhi oleh pluralitas
ideologi maupun pemahaman keagamaan yang berbeda satu sama lain sebagai
implikasi perubahan sosial yang mencerminkan Muslim pedesan atau Muslim urban
(perkotaan).
Kenyataan
ini membuktikan bahwa praktik keagamaan setiap daerah dapat dipastikan berbeda
sesuai dengan karakter kebudayaan masyarakatnya. Tidak ada satu agama yang
terbebas dari pluralitas tradisi yang dihasilkan oleh kebudayaan suatu bangsa
atau masyarakat yang warganya tetap setia mempertahankan kearifan lokal. Karena
itu, Islam yang dipahami orang Jawa-setidaknya pada tataran praktis-tidak sama
dengan Islam yang dipahami dan dihayati oleh orang Sunda. Lalu, dalam wilayah
yang lebih luas, Islam dihayati orang Timur Tengah, sampai pada batas tertentu,
berbeda dengan Islam yang dihayati oleh bangsa Indonesia. Meskipun harus diakui
terdapat persamaan dalam kesemua varian Islam itu-terutama pada prinsip-prinsip
dasarnya-namun dalam praktiknya terdapat banyak variasi (Machasin: 2011).
Dalam
lingkungan masyarakat Jawa, misalnya, kategorisasi Islam secara kasar mungkin
bisa dibagi dalam empat penafsiran. Pertama, Islam yang telah bercampur
dengan tradisi lokal dengan beragam praktik ritual yang sulit diamati. Kedua,
muslim yang terbaratkan (westernized) atau setidaknya memperoleh
pengaruh Barat secara kental, sementara tradisi dan wawasan keislamaan
terbilang minim atau kurang memadai. Ketiga, muslim yang memahami dan
menghayati Islam dalam kadar pas-pasan dan memiliki pengetahuan maupun
pemahaman terhadap peradaban Barat yang juga kurang memadai. Keempat,
muslim yang memiliki kedalaman tentang Islam dan mampu memelihara etos dan
disiplin ilmu keislaman, yang sering disebut sebagai kaum santri (Komaruddin
Hidayat: 2003).
Di
luar keempat katagorisasi di atas, sesungguhnya terdapat sekelompok orang
yang memiliki akses atau apresiasi terhadap kebudayaan Islam lokal maupun Barat
yang senantiasa dapat merubah pola atau sistem sosial keagamaan mereka. Meski
demikian, pengkategorisasian Islam Nusantara, khususnya muslim Jawa, setidaknya
dapat menjadi gambaran tentang keragaman masyarakat muslim Jawa yang dilihat
dari faktor keilmuan maupun pemahaman keagamaan. Pluralitas praktik keagamaan
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan munculnya varian-varian dalam
Islam, terutama berkaitan langsung dengan karakteristik kehidupan masyarakat
Jawa yang cukup heterogen.
Berdasarkan
hasil survei yang dilakukan peneliti tentang Islam di Indonesia, kita menemukan
beragam katagori yang membedakan karakteristik keislaman masyarakat Nusantara
berdasarkan tipologisasi yang mengarah pada kesadaran dalam beragama. Hasil
penelitian tentang pluralitas konfigurasi Islam Nusantara mencerminkan kekhasan
tipologi berdasarkan seni kesukuan yang berwajah ganda, misalnya munculnya katagorisasi
Islam Santri, Islam Abangan, dan Islam Priyayi, atau katagorisasi seperti Islam
Tradisional, Modernis, Liberal, Islam Jawa, maupun Islam Lokal.
Munculnya
varian-varian dalam keberagaman Islam Nusantara setidaknya membuka ruang
perdebatan tentang peran agama dalam ruang lingkup yang lebih luas. Belakangan,
perdebatan seputar peran agama dalam ruang publik di Indonesia secara tidak
langsung telah menghadirkan berbagai varian baru yang berkaitan dengan
pluralitas konfigurasi Islam Nusantara. Bila Clifford Geertz telah mengajukan
tesis tentang varian muslim Jawa, berdasarkan ekspresi keberagamaan mereka,
yang terdiri dari Santri, Abangan, dan Priyayi, fenomena saat ini boleh
dibilang lebik unik, karena varian-varian yang hadir merupakan derivasi kelompok
santri itu sendiri.
Beberapa
sarjana memang sering menggunakan istilah yang berbeda, seperti Islam
konservatif, moderat, dan liberal. Kategorisasi ini dilatarbelakangi oleh
sebuah fakta bahwa telah terjadi kontestasi politik dan revolusi budaya di kalangan
muslim Nusantara yang ditandai dengan semakin spesifiknya orientasi keagamaan
mereka. Varian baru ini mencerminkan kekhasan pluralitas Islam Nusantara
berdasarkan konfigurasi yang unik dan memberikan pengetahuan tentang
nilai-nilai kemusliman masyarakat. Perubahan orientasi keagamaan ini bisa jadi
merupakan faktor munculnya kategorisasi yang menciptakan sudut pandang bagi
masyarakat muslim Jawa maupun Madura secara umum.
Dari
fenomena inilah, saya mencoba menghadirkan tipologi varian Islam Nusantara
dalam masyarakat negeri ini. Penelitian model antropologis-sosiologis ini telah
menarik minat banyak pengamat dan peneliti dalam maupun luar negeri, karena
dianggap memberikan sumbangan penting bagi pengembangan kehidupan kultur
masyarakat muslim Jawa-Madura, meskipun juga dinilai tidak lagi relevan dalam
konteks kehidupan sekarang. Penelitian Geertz tetap berharga bagi peneliti
Indonesia yang mengkategorikan lapisan masyarakat menjadi abangan, santri, dan
priyayi. Dalam karya pentingnya ini, Geertz mencoba mencermati praktik-praktik
keagamaan santri, abangan, dan priyayi, lalu kecenderungan yang
merepresentasikan perilaku ketiga varian atau golongan dalam masyarakat Jawa.
Islam Santri: Representasi Muslim Nusantara
Di
berbagai komunitas muslim dunia, istilah Islam santri hanya ada bumi Nusantara.
Kekhasan Islam Nusantara ini merupakan kekayaan yang monumental bagi kemajuan
peradaban sebagai inspirasi dari semua Negara muslim di berbagai belahan dunia.
Kemajuan peradaban muslim Nusantara dengan berbagai karakter yang menghiasinya
bisa menjadi mercusuar bagi tegaknya nilai-nilai keislaman dalam konteks global
sehingga memberikan kontribusi penting bagi pembentukan generasi muslim yang
berkarakter luhur dan mulia.
Penggolongan
santri dalam penelitian Geertz termasuk dalam kategorisasi Islam Nusantara yang
mencakup pola kehidupan keagamaan masyarakat Jawa berkaitan langsung dengan
representasi perilaku dan praktik-praktik ritual dalam beragama. Dalam
penelitan Geertz, santri merupakan tipe masyarakat yang dinilai taat dan mantap
dalam menjalankan perintah agama yang berkaitan dengan rukun Islam maupun
ajaran-ajaran yang lain. Sebagai kelompok masyarakat yang mendalami agama Islam
dengan sungguh-sungguh, santri dapat dikategorikan sebagai generasi muslim yang
dapat diandalkan untuk meneruskan estafet kepemimpinan ulama atau kiai dalam
tradisi pesantren.
Dalam
penelitian Geertz, santri ditempatkan sebagai kelompok masyarakat yang paling
taat dalam menjalankan perintah agama dan mampu menguasai ilmu agama dengan
baik. Bagi kalangan santri, peribadatan menjadi aktifitas yang paling penting
dalam memperkuat keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan. Perintah agama seperti
shalat, puasa, zakat, dan lainnya menjadi karakter tersendiri yang melekat
dalam varian santri sehingga menempatkan mereka sebagai penjaga moral dan
sosial dalam kehidupan masyarakat. Tipikal yang melekat dalam varian santri ini
jelas dapat dibedakan dengan varian-varian lainnya, seperi abangan maupun
priyayi.
Penafsiran
Geertz tentang varian santri sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan penafsiran
dalam tradisi pesantren. Sebagai bagian dari Islam tradisional, pesantren
memang sangat identik elemen santri yang menjadi bagian penting dalam
pengembangan sistem pendidikan Islam di Indonesia. Terlepas dari penelitian
Geertz yang menempatkan santri sebagai kelompok masyarakat yang sungguh-sungguh
dalam menjalankan perintah agama, varian atau kelompok keagamaan seperti santri
memang tidak bisa dilepaskan dari tradisi pesantren. Harus disadari bahwa
setiap orang yang betul-betul menjalankan ibadah dan perintah agama dapat
dikatagorikan atau disebut sebagai santri, walaupun tidak pernah mondok di
pesantren. Bagi saya, santri dan pesantren adalah permata berpisau dua yang
tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena ketika menyebut istilah santri,
maka yang muncul di benak kita adalah pesantren.
Kemunculan
pesantren pada abad ke-19 bisa menjadi bukti kekhasan Islam Nusantara yang
diwarnai berbagai macam varian atau pola keagamaan yang berbeda. Varian santri
dalam tradisi pesantren menjadi salah satu kekhasan Islam Nusantara yang tidak
dimiliki negara lain yang mayoritas muslim. Kekhasan dalam tradisi pesantren
ini merupakan kekayaan tersendiri dalam dinamika perkembangan pendidikan Islam
tradisional sehingga menempatkan santri sebagai tonggak penyelamatan bangsa
dari kehancuran moral dan juga sebagai generasi muslim yang dapat diandalkan
untuk turut serta dalam membangun bangsa ke arah kemajuan yang signifikan.
Tidak
heran bila sebutan santri tidak bisa tergantikan oleh varian muslim lainnya
yang dianggap mampu memberikan harapan akan pengembangan pendidikan dan
keilmuan bagi kepentingan masyarakat luas. Sebagai varian yang sangat taat
dalam menjalankan ajaran agama, santri bisa menjadi pemimpin dalam berbagai kegiatan
sosial yang menjalankan fungsinya untuk kepentingan keummatan. Dalam dimensi
keberagamaan, kaum santri boleh dibilang sebagai “orang saleh” yang selain
memenuhi aturan syariat kualitas kesalehan, tapi juga dilihat dari cara hidup
yang mendekati perilaku seorang sufi.
Kesalehan
dalam menjalankan perintah agama dengan sungguh-sungguh merupakan potret nyata
atau merepresentasikan varian santri yang disebut Geerzt sebagai “kelompok
muslim yang menjalankan syariat dengan konsisten”. Menurut Abdul Munir Mulkhan,
kesalehan tidak hanya berkaitan dengan ketaatan dalam menjalakan perintah
agama, namun juga berkaitan dengan prinsip humanisme universal. Kesalehan
adalah tindakan yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain, serta dilakukan
atas dasar kesadaran pada ajaran Tuhan. Tindakan saleh (sering disebut dalam
kosa kata ”amal saleh”) merupakan implementasi keberimanan, pernyataan atau
produk dari iman (percaya kepada Tuhan) seseorang yang dilakukan secara sadar.
Cermin
kesalehan yang merepresentasikan santri tidak bisa dipungkiri, karena bekal
pengetahuan agama yang mumpuni semakin memberikan nilai tambah bagi kelompok
muslim tradisional ini. Tidak heran bila pesantren identik dengan santri,
karena berdirinya lembaga pendidikan Islam tradisional ini berkaitan langsung
dengan tujuan awal yang hendak mencetak kader-kader ulama potensial bagi
perkembangan dan kemajuan peradaban Islam. Tanpa adanya santri, sebuah lembaga
pendidikan tidak bisa disebut pesantren. Keberadaan santri menjadi modal sosial
bagi masyarakat yang berada di lingkungan pesantren, yang diharapkan menjadi
penerus estafet syiar Islam. Sebagai penerus syiar Islam, santri sudah barang
tentu menguasai berbagai disiplin ilmu agama yang menjadi kajian spesifik dalam
dunia pesantren, semisal ilmu falak, faraidh, gramatika bahasa Arab (nahwu,
sharraf, balaghah), mantiq, ulumul qur’an, tafsir, hadits, dan lain
sebagainya.
Meskipun
sebutan santri tidak terbatas pada kalangan yang belajar di sebuah pondok,
namun tetap saja istilah ini melekat dalam dinamika kultur masyarakat Islam
tradisional seperti pesantren. Maka, sebutan santri hanya bisa dipakai bagi
kader-kader muda Islam yang belajar ilmu agama di pesantren. Sebutan santri
memang mencerminkan penguasaan terhadap kitab-kitab Islam klasik, karena sebagian
besar pelajaran yang diterima menekankan pada bimbingan khusus untuk mendidik
para santri agar bisa membaca kitab kuning dengan lancar. Namun, tidak semua
santri yang pernah menimba ilmu di pesantren bisa menguasai semua kitab-kitab
Islam. Barangkali hanya santri yang memiliki ketekunan dan tarekat saja yang
bisa alim dalam memahami ajaran agama secara keseluruhan. Tidak heran bila
kitab kuning identik dengan santri yang merupakan kitab klasik yang ditulis
berabad-abad lalu dan menjadi salah satu tradisi agung (great tradition)
di Indonesia.
Bila
merujuk pada istilah Clifford Geertz, sebutan santri ternyata mempunyai
dualisme pengertian dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, santri adalah
orang yang memeluk Islam secara tulen, bersembah yang, pergi ke masjid pada
hari jum’at dan sebagainya. Sementara dalam arti sempit, santri adalah seorang
murid satu sekolah agama yang belajar di pondok pesantren. Di pesantren inilah
seorang santri membekali diri dengan beragam pengetahuan agama dari seorang kiai
yang tidak hanya menjadi pemimpin umat di kalangan intern sendiri, melainkan
juga bagi masyarakat Islam secara lebih luas.
Katagori
Islam santri yang dimaksud Clifford Geertz memang mencakup pengertian yang
lebih luas, karena tidak secara langsung diidentikkan dengan sebutan santri
yang belajar di pesantren. Sementara dalam pengertian saya, santri adalah
identik dengan pesantren yang tetap menunjung tinggi nilai-nilai dan tradisi
keberagamaan yang kuat. Meski demikian, santri adalah tetap identik dengan seseorang
yang mapan dalam ilmu agama walaupun tidak pernah belajar di pesantren, tetapi
memenuhi kriteria sebagai kelompok masyarakat muslim yang taat menjalankan
perintah agama. Meski demikian, peran kiai dan atau pemimpin umat memegang
peranan penting dalam hal pembaruan pendidikan Islam, yang sekaligus merupakan
sikap resistensinya (perlawanan terselubung) terhadap pemerintah imperialis
Belanda dan Jepang. Kepercayaan santri dan masyarakat terhadap kiai menyebabkan
posisi kiai sangat dihormati oleh masyarakat melebihi penghormatan mereka
terhadap pejabat setempat.
Di
Madura, santri adalah bagian terpenting dari pesantren yang mencakup sekelompok
generasi muslim yang berupa belajar ilmu agama dengan konsisten. Bila pesantren
selalu identik dengan lembaga pendidikan Islam tradisional, maka pada
perkembangan selanjutnya pesantren sudah mulai mengalami perubahan dari
berbagai aspek yang melatarbelakanginya, termasuk sistem pendidikan yang
dijalankan. Sampai kapan pun, kelompok santri dalam varian muslim tidak bisa
dilepaskan dari lembaga pendidikan Islam tradisional seperti pesantren.
Buktinya, Belanda mulai melirik pesantren sebagai budaya asli Indonesia yang
berasal dari akar rumput, terutama dari kalangan Islam tradisionalis.
Sampai
kapan pun, kelompok santri dianggap sebagai generasi emas dari sebuah lembaga
pendidikan Islam di Indonesia. Kendati dianggap statis dalam penerapan sistem
pendidikan, santri dan pesantren tetap menjadi simbol bagi kekuatan budaya
bangsa yang mengisyaratkan perkembangan dakwak Islam secara total. Snouck
Hurgronje menunjukkan betapa Islam tradisional di Jawa begitu sangat kuat
mempengaruhi pikiran masyarakat sehingga memiliki vitalitas dalam mempertahakan
kekuatan sosial, kultural, dan keagamaan. Ia melihat bahwa Islam tradisional di
Jawa yang kelihatannya begitu statis dan terbelenggu oleh pikiran-pikiran para
ulama pada abad pertengahan, sebenarnya telah mengalami perubahan yang sangat
fundamental melalui tahapan-tahapan penting yang tersembunyi di dalamnya.
Islam Abangan: Representasi Muslim Sinkretis dan Magis
Katagori
Islam Nusantara yang terbilang unik juga adalah istilah Islam Abangan yang
menjadi varian muslim di Indonesia. Katagorisasi Islam Abangan yang dikemukakan
Geertz sebagai bagian dari perilaku pola keagamaan pada masyarakat muslim Jawa,
sesungguhnya kurang tepat karena abangan dan santri memiliki kedekatan
emosional sebagai muslim tradisional yang mayoritas hidup di pedesaan. Sebagai
bagian dari muslim Jawa, Abangan ditempatkan oleh Geertz menjadi kelompok masyarakat
yang kurang memiliki pengetahuan tentang ajaran agama, bahkan bisa dianggap
sebagai muslim awam yang berasal dari desa.
Kelompok
keagamaan dalam tradisi masyarakat Jawa termasuk Islam Abangan merupakan
representasi dari kecenderungan perilaku masyarakat yang mengaku sebagai
muslim, tetapi tidak konsisten dalam menjalankan perintah agama.
Ketidakkonsistenan menjalankan perintah agama bukan karena tidak paham tentang
agamanya, melainkan lebih karena mereka masih percaya dengan tradisi-tradisi
lokal yang sudah berkembang sejak lama. Islam Abangan memang tidak secara
terang-terangan menyatakan dirinya sebagai muslim, karena mereka memang Islam
berdasarkan faktor keturunan yang mempengaruhi proses awal penyebaran agama
Islam ketika dibawa oleh Wali Songo.
Perilaku
muslim Abangan bisa merepresentasikan sebagai kelompok tani yang kurang
memerhatikan doktrin Islam secara mapan dan lebih mengedepankan
kepercayaan-kepercayaan lokal berupa klenik yang berbau mistis sehingga
memberikan kesan sebagai kelompok masyarakat yang kurang taat. Kawasan pedesaan
dan masyarakat miskin yang berasal dari kaum petani merupakan peta wilayah
Islam Abangan yang memiliki tradisi kehidupan dan kepercayaan yang cenderung
sinkretis dan magis yang dipandang sebagai ancaman masa depan purifikasi Islam
di Nusantara. Perilaku keagamaan muslim Abangan juga tidak lepas dari pengaruh
animisme dan dinamisme (Hindu-Budha) dari nenek moyang sejak dulu.
Kepercayaan
kuat Islam Abangan akan sinkretisme makin mempersulit gerakan fundamentalisme
atau pemurnian Islam di kalangan masyarakat muslim yang mengusung pembaharuan
(modernisasi) untuk menghilangkan kepercayaan yang berbau tahayyul dan
khurafat-sehingga apa yang dianasir Abdul Munir Mulkhan tentang pudarnya
fundamentalisme di pedesaan tampak nyata dalam dinamika keagamaan kaum Abangan.
Apalagi kepercayaan yang tumbuh dari kehidupan petani di pedesaan muncul dalam
polarisasi yang selalu berubah, baik dalam pola gerakan atau pun perilaku
masyarakatnya. Polarisasi demikian akan tampak pada berada dalam garis
fundamentalisme dalam pemurnian Islam dan toleransi yang lebih besar terhadap
realitas kehidupan keagamaan petani yang cenderung sinkretik.
Tampaknya
apa yang sinyalir Abdul Munir Mulkhan tentang pudarnya fundamentalisme di
pedesaan bisa dikatakan sebagai sesuatu yang mungkin saja terjadi. Ini karena,
kepercayaan sinkretisme begitu mengakar kuat dalam kehidupan keagamaan kaum
Abangan sehingga sulit untuk menghapus kepercayaan tersebut. Kepercayaan
terhadap mekanisme alam yang di luar kemampuan kontrol dan kendali petani,
membuat sinkretisme tumbuh subur di pedesaan dan kurang begitu berkembang di
dalam masyarakat yang hidup dari mekanisme pasar. Bahkan, sinkretisme hampir
mustahil dihilangkan dari praktik keagamaan muslim Abangan karena faham ini
begitu inheren dalam kultur masyarakat yang tradisional dan kolot.
Dari
perspektif ini, kaum tani sulit menghilangkan dan meninggalkan sinkretisme,
kecuali oleh kekuatan lebih besar yang bisa membebaskan ketergantungan atas
alam. Pada saat yang lain, Islam murni tidak mampu memberi pedoman secara rinci
bagaimana kaum petani bisa membebaskan diri dari ancaman alam, kecuali dengan
menghubungkan setiap peristiwa dengan peran Tuhan yang misterius. Ini karena
Islam murni yang abstrak jauh dari dunia pertanian yang tidak berhubungan
dengan masalah objektif dari kehidupan petani, sementara sinkretisme memberi
cukup informasi bagaimana menjalin hubungan dengan kekuatan supernatural berupa
roh gaib atau Tuhan sekalipun.
Meskipun
kaum Abangan disebut sebagai kelompok muslim, namun tingkat pemahaman keagamaan
mereka jauh dari kepercayaan terhadap syariat. Hal ini berarti bahwa ada
hubungan antara kepercayaan seseorang dengan dinamika sosial mereka hidup.
Kepercayaan syariat adalah bagian dari proyeksi manusiawi mengenai kepentingan
kehidupan ideal yang ingin dicapai dan secara idealektik berhubungan dengan
dinamika kehidupan sosial penganutnya, termasuk kepercayaan kaum Abangan
terhadap sinkretisme. Kepercayaan sinkretis yang tampak dalam perilaku
keagamaan kaum Abangan merupakan unsur pokok agama sebagai proyeksi manusiawi
yang lahir dari alam dan hubungan sosial. Tidak heran bila kehidupan sosial
yang tumbuh dari mekanisme pertanian dan terikat dengan alam, menjadikan
proyeksi duniawi ini selalu terarah pada kekuatan yang mempengaruhi alam secara
magis.
Menurut
Abdul Munir Mulkhan, kepercayaan magis tampak memainkan peranan penting dalam
kehidupan petani sebagai representasi kaum Abangan, meskipun juga dasar
kepercayaan Islam murni mendorong adanya rasionalisasi hubungan petani dan
alam. Kepercayaan terhadap sinkretisme secara tidak langsung telah mempengaruhi
pola kehidupan keagamaan kaum Abangan sehingga mereka meyakini bahwa kekuatan
magis atau hal-hal yang menyangkut mistis bisa merubah nasib dan takdir mereka
sendiri. Pola kehidupan keagamaan semacam ini tidak bisa dipungkiri telah
menjadikan kaum Abangan sebagai tipikal kultur masyarakat yang jauh dari agama
yang ketat.
Bagi
Geertz, fenomena perilaku keagamaan kaum petani yang merepresentasikan muslim
Abangan tidak bisa lepas dari pengaruh kebudayaan lokal yang sudah berkembang
sejak lama, terutama kepercayaan terhadap animisme dan dinamisme. Bagi kalangan
Abangan, kepercayaan terhadap doktrin agama tidak terlalu penting, bahkan
mereka terkesan acuh tak acuh. Hal ini juga banyak dilatarbelakangi oleh pesona
ritual yang inhern terutama pada saat melaksanakan slamaten. Perayaan slametan
bagi kaum Abangan tak ubahnya seperti kewajiban dan tidak bisa ditinggalkan
begitu saja, semisal slametan “bersih desa” atau kepercayaan lain yang
mengundang roh-roh atau hal-hal ghaib dalam pola kehidupan mereka.
Ritual
slamaten dalam kehidupan kaum Abangan begitu tampak ketika mengadakan
upacara-upacara keagamaan untuk memperoleh keberkatan. Meskipun perayaan ritual
bercorak keagamaan, namun tidak bisa lepas dari tradisi kebudayaan lokal yang
dikorelasikan dengan pengetahuan filosofi masyarakat setempat. Tidak heran
ritual keagamaan dalam konteks sosial dan kebudayaan Jawa, misalnya, sering
disebut dengan slametan (salvation), yang mengharapkan
keselamatan dan semakin kuatnya kebersamaan serta kesetiakawanan antar sesama
masyarakat. Kehadiran konsep slametan bukan berarti sebagai pameran atau
pertunjukan dan bukan juga berarti “menyenikan” ritual agama, melainkan
merupakan suatu pengalaman yang harmonis antara Allah dan manusia (hablum
min-allah), manusia dan alam semesta (hablum min-alam), dan manusia
dengan sesama (hablum min-naas).
Meski
demikian, kaum Abangan kurang memerhatikan hal-hal yang bernilai syar’i dan
berkaitan dengan ajaran doktrin agama ketika melaksanakan ritual atau slamaten
dalam pola kehidupan keagamaan mereka. Kepercayaan kaum Abangan yang kolot
menyebabkan kelompok masyarakat ini tidak bisa meninggalkan sinkretisme dalam
kehidupan mereka. Bahkan kehidupan mereka sudah mendarah daging sebagai
tipologi Islam sinkretik yang menjadikan percampurnaan ritual dalam nilai Jawa
(pengaruh Hindu-Budha) dengan Islam murni. Apalagi menurut Geertz, posisi Islam
murni tampak lemah ketika berhadapan dengan Islam sinkretik yang dalam
penelitian ini menjadi petunjuk semakin meluasnya toleransi pemurnian Islam
atas Islam sinkretik sebagai representasi kebudayaan lokal.
Di
situlah kaum Abangan tetap berkibar dengan sinkretiknya walaupun mereka menyadari
bahwa kepercayaan itu bertentangan dengan ajaran Islam murni. Kalaupun kaum
Abangan yang merepresentasikan petani menerima Islam murni, hal itu disebabkan
oleh diubahnya pola keagamaan gerakan ini oleh elite lokal sehingga lebih
sesuai dengan petani yang sinkretik. Dari sini, tipologi hubungan Islam dan
budaya lokal dalam proses penyebaran Islam ke Nusantara dapat dijadikan model
perluasan Islam murni ke pedesaan yang membentuk empat formasi sosial sepanjang
kontinum dua kutub Islam murni dan Islam sinkretik, yaitu Islamisasi,
pribumisasi, negosiasi, dan konflik atau koeksistensi.
Varian
Abangan sebagai bagian dari kelompok keagamaan dalam masyarakat Jawa tentu saja
semakin menarik untuk diteliti. Apalagi ketergantungan masyarakat pedesaan
terhadap usaha tani menjadikan masyarakat ini merupakan pengemban dan pelestari
sinkretisme paling konsisten lebih dari masyarakat perkotaan yang bukan petani.
Karena itu, mungkin akan muncul dua varian pola keagamaan yaitu fundamentalis
atau puritan dan perpaduan Islam murni di satu pihak dan Islam sinkretik di
pihak lain. Bagi Mensching, ketergantungan petani atas sinkretisme menyebabkan
mereka tidak mungkin berhubungan dengan Islam murni kecuali diinovasi (bid’ah)
dalam bentuk sinkretisasi Islam murni dan tradisi keagamaan petani yang
bersifat magis.
Terlepas
dari kepercayaan-kepercayaan sinkretis yang melekat dalam perilaku keagamaan
kaum Abangan, ternyata kelompok masyarakat yang disebut oleh Clifford Geertz
sebagai ”abangan” secara moral-psikis juga menjadi makmum terhadap ketokohan
kiai. Maklum saja, kaum Abangan mayoritas hidup di pedesaan yang bekerja
sebagai petani dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidak bisa lepas dari
sentuhan dan arahan kiai. Meskipun kaum Abangan tidak begitu gencar membantu
kiai dalam melawan pemerintahan kolonial, keberadaan Abangan tetap dianggap
sebagai penganut Islam yang mempertahankan tradisi lokal. Di tengah-tengah
kehidupan kaum Abangan, kiai begitu mudah memobilisasi massa, kemudian
menempati baris terdepan dalam mengadakan perlawanan terhadap pemerintah
kolonial Belanda dan Jepang maupun raja-raja tiran (antek-antek kaum
imperialis). Bahkan, Sartono Kartodirjo mengemukakan bahwa sejak kolonialisme
datang ke Indonesia hingga masa imperialisme, peran efektif kiai begitu dominan
dalam menanamkan sikap permusuhan dan agresif terhadap orang asing dan pribumi
yang menjadi birokrat kolonial.
Perilaku
kehidupan kaum Abangan yang kurang taat terhadap doktrin dan ajaran agama,
tidak lantas membuat figur kiai gerah dengan kepercayaan sinkretik yang mereka
anut selama ini. Figur kiai sangat memaklumi karena Islam hadir di tengah
kehidupan masyarakat yang sudah memiliki kepercayaan terhadap animisme dan
dinamisme maupun Hindu-Budha. Dalam situasi keagamaan yang cepat berkembang,
pesantren yang menjadi elan vital bagi kiai untuk memperjuangkan penyebaran
dakwah Islam, juga sering menuai stigma negatif maupun persepsi miring yang
dianggap sebagai bagian kaum Abangan karena masih dalam katagori konservatif
atau kolot. Sebutan orang-orang pesantren sebagai orang Islam “kolot” tak pelak
menjadi santapan ringan yang selalu menghiasi dinamika perkembangan lembaga
pendidikan Islam ini.
Geertz
berpendapat bahwa salah satu sifat kekolotan itu ialah penerimaan mereka
terhadap elemen-elemen sinkretis yang bertentangan dengan ajaran Islam. Akan
tetapi lucunya identifikasi tentang Islam kolot sama dengan apa yang Geertz
simpulkan tentang ciri khas Abangan yang merupakan campuran darpada kehidupan
keagamaan yang bersifat animistis, Hindu-Budha, dan Islam. Kita dapat membaca
kesimpangsiuran tersebut dalam analisis Alan Samson yang menggambarkan wajah
Islam kolot di Jawa sebagai penganut suatu sistem keagamaan yang berdasarkan
campuran antara elemen-elemen animisme, Hindu-Budha, dan Islam, sama dengan wajah
keagamaan orang Abangan. Sangat jelas bahwa Alan Samson hanya sekadar
menegaskan kesimpangsiuran Geertz tentang sifat-sifat abangan dan Islam kolot.
Dalam
penelitian lainnya, Geertz mencoba membandingkan bagaimana perkembangan Islam
di Jawa dan di Maroko. Geertz mengatakan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia
secara sistematis berkembang terjadi pada abad ke-14, berbarengan dengan suatu
kebudayaan besar yang telah menciptakan suatu sistem politik, nilai-nilai
estetika, dan kehidupan sosial keagamaan yang sangat maju, yang dikembangkan
langsung oleh kerajaan Hindu-Budha di Jawa, yang dianggap mampu menanamkan akar
kebudayaan dalam kehidupan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Bahkan,
bila dibandingkan dengan Islam di India, Islam di Indonesia, menurut Geertz,
demikian sangat lemah, tak berakar dan bersifat sementara, sinkretis, dan
berwajak plural.
Islam Priyayi: Representasi Muslim Aristokrasi
Varian
terakhir dari tipologi muslim Jawa adalah kalangan Priyayi yang oleh Geertz
diasumsikan sebagai kaum elite atau golongan bangsawan yang menduduki posisi
penting di pemerintahan. Golongan Priyayi awalnya hanya diistilahkan bagi
kalangan aristokrasi turun temurun yang oleh Belanda diambil dengan mudah dari
raja-raja Jawa yang ditaklukkan untuk kemudian diangkat sebagai pejabat sipil
yang digaji. Elite pegawai ini, yang ujung akar-akarnya terletak pada kraton
Hindu-Jawa sebelum masa kolonial, memelihara dan mengembangkan etiket kraton
yang sangat halus, kesenian yang sangat komleks dalam tarian, sandiwara, musik,
sastra, dan mistisme Hindu-Budha.
Sebagai
bagian dari tipologi keagamaan dalam masyarakat Jawa, kaum Priyayi tentu saja
sangat dipengaruhi oleh kehidupan aristokrasi pada masa kolonial. Sementara
titik utama orientasi kehidupan keagamaan kaum Priyayi adalah etiket seni dan
praktik mistis yang bercorak Hinduisme. Tidak heran bila mereka tidak
menekankan pada elemen animistis dari sinkretisme Jawa yang serba melingkupi
seperti kaum Abangan, tidak pula menekankan pada elemen Islam sebagaimana kaum
Santri, tetapi menitikberatkan pada elemen Hinduisme. Corak yang demikian tidak
bisa dilepaskan dari pola kehidupan kaum Priyayi, yang secara langsung
berafisiliasi dengan struktur sosial yang termasuk golongan pegawai birokrasi.
Pengaruh
kultur keraton juga sangat kuat seiring dengan berbaurnya kelompok ini dengan
raja-raja pribumi yang waktu itu dibayang-bayangi oleh penjajahan Belanda.
Varian ini menunjuk pada elemen Hinduisme lanjutan dari tradisi Keraton
Hindu-Jawa yang menguasasi pemerintahan. Sebagaimana halnya keraton (simbol
pemerintahan birokratis), maka priyayi lebih menekankan pada kekuatan sopan
santun yang halus, seni tinggi, dan mistisisme intuitif dan potensi sosialnya
yang memenuhi kebutuhan kolonial Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya.
Secara tidak langsung kaum Priyayi telah berafiliasi dengan kolonial Belanda,
karena mereka banyak menduduki posisi strategis untuk membantu misi penjajahan.
Situasi
ini membuat mengakibatkan kultur kraton yang tradisional makin diperlemah oleh
kolonial, karena kaum Priyayi dicomot dari kerajaan pribumi yang dipekerjakan
sebagai instrumen adimistrasi kekuasaan kolonial. Meski demikian, varian
Priyayi tidak saja tetap kuat bertahan di kalangan anasir masyarakat yang lebih
konservatif, tetapi juga memainkan peranan penting dalam membentuk pandangan
dunia (world view), etika dan tingkah laku sosial anasir yang bahkan
paling diperbarat dalam kelompok pegawai yang masih dominan itu. Tidak heran
bila sikap sopan santun yang halus, seni tinggi, dan mistisme intuitif masih
dianggap sebagai karakteristik utama elite jawa ini. Dan sekalipun sudah makin
memudar dan mengalami adaptasi dengan keadaan yang sudah berubah, gaya hidup (life
style) Priyayi masih tetap jadi model tidak saja untuk kalangan elite, tapi
dengan berbagai jalan juga menjadi model bagi seluruh masyarakat.
Terkait
dengan kepercayaan agama di kalangan Priyayi, sesungguhnya cukup beragam sesuai
dengan suatu tradisi yang mewarnai varian dari sistem agama orang Jawa ini.
Pertama, ada priyayi yang secara aktif melibatkan diri dalam agama Islam, yang
biasa disebut dengan priyayi santri. Biasanya mereka terdiri dari atas
orang-orang lanjut usia dan ketaatan mereka terhadap agama dapat diungkapkan
dalam mistik atau dengan jalan menekuni tulisan-tulisan tentang Islam. Kedua,
ada priyayi yang tidak begitu menghiraukan Islam, yang biasa disebut dengan
priyayi abangan. Sebagian dari mereka bahkan sama sekali tidak mempedulikan
agama, mereka mungkin atheis atau agnostik meskipun tidak banyak golongan yang
seperti itu. Sebaliknya, ada priyayi yang disebut abangan, akan tetapi
sebenarnya mereka bukanlah orang-orang yang tidak beragama. Mereka mungkin saja
memeluk agama leluhur mereka yang sangat kental dengan nilai-nilai mistis.
Terlepas
dari orientasi keagamaan kaum Priyayi, varian ini juga turut membantu mengusir
penjajahan dengan memberikan kesempatan kepada kaum santri untuk terlibat
langsung dalam berbagai gerilya. Penyebaran Islam di Jawa bukan hanya dibantu
oleh para ulama dan santri yang bermukim di pesantren, melainkan juga oleh
kerajaan-kerajaan Islam yang turut serta dalam melancarkan proses islamisasi.
Memang harus diakui pada masa penjajahan Belanda, proses Islamisasi tidak
berjalan mudah karena selalu mendapatkan pertentangan dan hambatan langsung dari
pemerintahan kolonial Belanda sehingga proses pemantapan keislaman agar menjadi
muslim yang taat sedikit mengalami jalan terjal.
Sementara
kalangan bangsawan dan kaum priyayi tidak banyak melakukan tindakan untuk
membantu proses pemantapan ketaatan masyarakat kepada ajaran Islam, karena di
samping menghadapi pembatasan, mereka juga mendapatkan ancaman dari kekuasaan
Belanda yang dikenal sangat kejam terhadap kalangan rakyat jelata.
Sebagai
bagian dari tipologi masyarakat Jawa, keengganan kaum priyayi untuk melakukan
pemantapan keimanan terhadap ajaran Islam patut dipertanyakan, karena mereka
juga merupakan kalangan Islam modern yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan.
Sejauh Islam dianggap antikolonial, kaum priyayi lebih cenderung untuk
mengembangkan pola kehidupan keagamaan yang lebih bersifat kejawen daripada
memilih menjadi santri.
Ketakutan
Belanda kepada orang-orang yang cenderung condong kepada Islam mempengaruhi
struktur dan kesempatan dalam administrasi kepegawaian pribumi. Semisal pada
waktu seorang patih yang dilaporkan menghina Islam oleh Belanda kemudian
dinaikkan pangkatnya menjadi bupati, maka hal ini menjadi pelajaran yang jelas
bagi teman-temannya
Oleh: Mohammad Takdir Ilahi dalam
nu.or.id