![]() |
Sumber gambar: infografis.republika.co.id |
Dan janganlah
sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan
batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu
dapat memakan sebagian harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu mengetahui. (QS
Al-Baqarah [2]: 188)
Kalau mau
diteliti kembali, ajaran dan perintah ibadah puasa ternyata memiliki korelasi
positif dengan ibadah-ibadah lain dalam Islam, seperti salat, zakat, dan sedekah,
yakni selalu dibarengi oleh dimensi konsekuensial atau ikutan. Seperti ibadah
puasa, perintah menjalankan ibadah salat juga selalu diiringi dengan perintah
berzakat—maksudnya zakat kekayaan.
Hal itu
dapat dilihat dari banyaknya ayat dalam Al-Quran yang memerintahkan mendirikan
atau mengerjakan salat, yang kemudian diiringi dengan perintah mengeluarkan
zakat, seperti, dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan ruku‘lah
beserta orang-orang yang ruku‘ (QS Al-Baqarah [2]: 43). Dan, banyak lagi
pada ayat lain dalam Al-Quran, seperti Surah Al-Hajj (22): 78, Yûnus
(10): 87, dan Al-Nûr (24): 56.
Dalam
menjalankan praktik ibadah puasa, kita juga dianjurkan mengeluarkan zakat
fitrah yang tujuannya adalah pembuktian keimanan kita. Sementara itu, dalam
praktik ibadah salat, kita juga disuruh menyertainya dengan mengeluarkan
zakat. Kalau dalam ibadah puasa kita mengeluarkan zakat fitrah sebagai
perwujudan nilai kemanusiaan, dimensi horizontal, maka dalam salat hal itu
disimbolisasikan dengan salam pada akhir salat.
Itulah
sebabnya, ada yang beranggapan bahwa nilai atau pahala puasa tidak sah kalau
tidak disertai mengeluarkan zakat fitrah, dengan menganalogikan salam pada
salat. Dalam salat, seseorang dinilai tidak sah kalau tidak mengucapkan
salam.
Baik ibadah
puasa maupun salat, sebagai perwujudan keimanan dan ketakwaan yang kemudian
harus diwujudkan dalam bentuk lahiriahnya, adalah amal saleh atau kerja
sosial. Dengan sendirinya, terdapat paralelisme antara iman, takwa, dan amal
saleh atau lebih populer dengan adanya komitmen sosial.
Zakat mal,
zakat kekayaan, maupun zakat fitri pada dasarnya juga merupakan simbolisasi
pemadatan nilai keimanan yang tidak kasatmata. Adapun ide dasar yang terkandung
dalam keduanya adalah penyucian. Sarana penyucian adalah dengan menunjukkan
komitmen, kepedulian sosial.
Zakat yang
sesungguhnya mengandung pesan-pesan kemanusiaan, juga harus dipahami semangat
dan dinamikanya pada zaman sekarang ini, termasuk di dalamnya kelompok orang
yang wajib mengeluarkan zakat. Itu karena, seperti kita ketahui, kitab-kitab
fiqih yang mengatur masalah zakat merupakan hasil respons dan ijtihad para
ulama pada zaman dahulu, yang hidup pada era agraris. Untuk era industri
seperti sekarang ini, para ulama dituntut untuk kembali memikirkan,
mengupayakan, dan memperbarui hukum-hukum fiqih yang ada, sehingga hukum-hukum
fiqih tetap dinamis dan mampu memberikan solusi bagi problem dan tantangan zaman.
Zakat yang
berarti penyucian terhadap harta kekayaan, sekali lagi, menegaskan bahwa
harta dalam Islam tidak boleh diperoleh melalui penindasan terhadap hak
orang lain. Konsep keharusan mendapatkan harta dalam Islam tidak boleh
diperoleh dengan cara-cara yang tidak benar, batil, atau bahkan dengan
penindasan terhadap hak orang lain. Konsep keharusan mendapatkan harta dengan
cara yang benar dalam Islam maksudnya tidak setelah mendapatkan proses
pembenaran atau legalisasi hukum dikatakan benar karena dalam Al-Quran
ditegaskan bahwa dalam praktik hukum bisa terjadi penyelewengan, atau orang
sekarang menyebutnya praktik mafia hukum.
Dalam kasus
ini, Al-Qur’an memperingatkan, Dan janganlah sebagian kamu memakan harta
sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian
harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui
(QS Al-Baqarah [2]: 188).
Di tempat
lain dalam Al-Quran juga disebutkan, Hai orang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesama dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku suka-sama suka di antara kamu … (QS Al-Nisâ’ [4]:
29).
Dari
ayat-ayat tersebut, sebenarnya, seseorang menjalankan praktik mafia hukum,
dan menyadari bahwa dirinya telah melakukan perbuatan salah atau dosa, tapi ia
melanggarnya dengan membohongi diri lewat legalisasi hukum. Dengan
mengeluarkan zakat atas harta kekayaan yang dimilikinya, diharapkan harta yang
dimiliki benar-benar menjadi suci, atau mirip dengan money-laundrying
dalam artian positif karena telah diberikan hak-haknya secara benar menurut
ketentuan agama.
Di sisi
lain, sedekah atau memberikan sebagian hartanya merupakan sebuah wujud
tindakan pembuktian kesadaran akan kebenaran. Dari segi bahasa Arab, kata shadaqah,
juga diartikan dengan tindakan yang benar. Benar dalam arti sesuai dengan kesadaran
yang benar, kesadaran yang ia yakini atau kesadaran Tuhan, takwa. Itulah sebabnya,
sedekah sesungguhnya juga berefek dikembalikan kepentingan dirinya dan tidak
membutuhkan sebuah imbalan atau balasan atau pujian.
Hal demikian
juga dibenarkan dalam Al-Quran bahwa sedekah adalah refleksi kepentingan diri,
yakni sebagai berikut, Dan sesungguhnya kami memberikan makan kepadamu
hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan
dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih (QS Al-Insân [76]: 9).
Ayat
tersebut menegaskan, ketika seseorang memberi kepada orang lain, ia tidak
perlu mengharapkan imbalan atau, bahkan sekadar ucapan terima kasih karena ini
menyangkut kepentingan dirinya dengan Allah Swt., refleksi sikap membenarkan
yang diyakini.
Namun, dalam
era teknologi informasi yang sudah maju, baik teknologi media cetak maupun
elektronik, sering sekali disaksikan atau publikasi orang melakukan sedekah,
beramal atau berinfak, dan itu menjadi pemberitaan. Kasus demikian itu, tentu
tidak mengurangi dan menyalahi nilai sedekah, sebagai pembuktian diri kepada
keyakinan yang benar, iman kalau tidak diiringi sifat riya, atau ingin mendapatkan
pujian. Seperti yang disebutkan dalam Al-Quran, riya menjadi ciri-ciri orang
munafik atau orang yang mendustai agama dengan dalil amal saleh, Tahukah
kamu orang yang mendustakan agama? … orang-orang yang berbuat riya … (QS
Al-Mâ‘ûn [107]: 1-7).
Lain
persoalannya kalau hal yang demikian itu diniati sebagai sugesti dan
rangsangan kepada pihak lain agar mau bersedekah dan beramal, atau agar
terjadi proses imitasi atau penularan, maka sah-sah saja dan tidak ada
salahnya. Sebagaimana dalam sebuah hadis Rasulullah saw. juga disebutkan
bahwa dilihat orang tidak akan membatalkan nilai sedekah, “Setiap sedekah
yang tidak diketahui orang lain, maka bukan termasuk sedekah.”
Ibadah puasa
sebagai wujud ketakwaan kepada kegaiban, diliputi oleh suasana pribadi antara
hamba dan Tuhannya, seperti yang ditegaskan dalam hadis qudsi yang sangat masyhur,
“Puasa adalah kepentingan-Ku (Allah Swt). dan Akulah yang akan memberi balasannya.”
Sekali lagi, ibadah puasa, seperti halnya ibadah-ibadah yang lain: salat dan
sedekah, nyata-nyata memiliki kolerasi positif, yakni akan kehilangan nilainya
kalau tidak diiringi amal saleh yang berdimensi kemanusiaan. Itu karena,
ternyata, dalam Islam, dimensi personal juga tidak bisa dipisahkan dari
dimensi horizontal. Ibarat sebuah koin mata uang, yang satu sisi dengan sisi
yang lain merupakan satu kesatuan mutlak.
Sumber:
kata pengantar buku Rahasia Puasa dan Zakat karya Imam Al Ghazali
Untuk mengulas
lebih dalam kitab Rahasia
Puasa dan Zakat karya Imam Al Ghazali, pembaca
bisa mengakses versi luring/ offline pada link pdf di bawah ini
0 komentar:
Posting Komentar