![]() |
Sumber gambar: rumahku--surgaku.org |
Kerap
kita mendengar, ucapan "Selamat Menempuh Hidup Baru" ditujukan kepada
saudara, kerabat, sehabat, teman (atau siapapun) yang baru melaksanakan hajatan
pernikahan. Saya sepakat dan memang benar adanya, pernikahan bisa diibaratkan
sebagai babak baru dalam kehidupan.
Bahwa
pernikahan, adalah lembaran kehidupan yang tidak kalah seru, memang begitulah
kenyataannya. Pasalnya, dalam membina keluarga baru (suami istri) terdapat dua
orang yang berinteraksi, berarti ada dua kepala dan dua pikiran berbeda yang
musti diselaraskan.
Sebuah
pernikahan, baik yang dijalani oleh pasangan belia atau sudah cukup umur, baik
yang diijabkan seorang perjaka atau duda dengan gadis atau janda, melalui atau
tidak proses pacaran, pastilah memerlukan proses transisi dan atau penyesuaian.
Pasangan
suami istri, meskipun terikat tali pernikahan kuat, syah di mata hukum dan
agama, tetaplah dua sosok pribadi yang berbeda. Masing-masing memiliki latar
belakang tidak sama, dan sudah pasti membawa karakter sendiri-sendiri.
Kerap
kita mendengar, ucapan "Selamat Menempuh Hidup Baru" ditujukan kepada
saudara, kerabat, sehabat, teman (atau siapapun) yang baru melaksanakan hajatan
pernikahan. Saya sepakat dan memang benar adanya, pernikahan bisa diibaratkan
sebagai babak baru dalam kehidupan.
Bahwa
pernikahan, adalah lembaran kehidupan yang tidak kalah seru, memang begitulah
kenyataannya. Pasalnya, dalam membina keluarga baru (suami istri) terdapat dua
orang yang berinteraksi, berarti ada dua kepala dan dua pikiran berbeda yang
musti diselaraskan.
Sebuah
pernikahan, baik yang dijalani oleh pasangan belia atau sudah cukup umur, baik
yang diijabkan seorang perjaka atau duda dengan gadis atau janda, melalui atau
tidak proses pacaran, pastilah memerlukan proses transisi dan atau penyesuaian.
Pasangan
suami istri, meskipun terikat tali pernikahan kuat, syah di mata hukum dan
agama, tetaplah dua sosok pribadi yang berbeda. Masing-masing memiliki latar
belakang tidak sama, dan sudah pasti membawa karakter sendiri-sendiri.
Justru atas sebab perbedaan itulah, maka suami dan atau istri punya kewajiban
yang sama, yaitu saling menyesuaikan demi keharmonisan rumah tangga.
Paginya
bagi seorang bujangan, begitu bangun tidur (bagi yang muslim) sholat subuh,
nonton televisi, mandi kemudian siap-siap berangkat kerja. Pergi ke kantor
tinggal nyangklong tas, naik kendaraan dan sampai tempat pekerjaan.
Akan
berubah setelah ada istri, tanggung jawab laki-laki bertambah, berperan sebagai
kepala keluarga dan mengemban tugas pencarian nafkah. Bagi perempuan, siap
dengan segenap kerepotan di rumah (kalau istri juga pekerja kantor, berarti
punya kesibukan double).
Penyesuaian, adalah keniscayaan, fase
ini sangat memungkinkan suami dan atau istri, mengalami (yang disebut) culture
shock. Sebuah kejutan, dari kebiasaan hidup bebas sebagai single,
kemudian (mau tak mau) musti menyesuaikan, memikirkan/menjaga perasaan
pasangan.
Pada kondisi
penyesuaian, sikap 'give and take' (jangan take and give)
sangat dibutuhkan, bahkan bisa jadi kita dituntut untuk 'give' tanpa
syarat. Satu tahun pertama, masa penyesuaian begitu terasa, letupan-letupan
kecil tak jarang muncul dan terkadang ditentang oleh ego.
Dua belah
pihak (suami istri) musti intens berkomunikasi, agar saling menyelaraskan diri,
karena hal hal kecil kalau, tidak mustahil perlahan-lahan membesar.
“Ego adalah struktur psikis yang berhubungan dengan konsep
tentang diri, diatur oleh prinsip realtis dan ditandai oleh kemampuan untuk
mentoleransi”
Ego
yang dibiarkan menguasai, cenderung membuat si pelakunya menjadi egois. Dan
sikap mau menang sendiri, hanya ingin pendapatnya yang didengarkan, hanya dia
yang merasa perlu mendapat tempat, kalau dibiarkan berlanjut sangat
bahaya.
Pernikahan
bisa dijadaikan salah satu cara melunturkan ego, karena di awal pernikahan
suami dan istri punya tujuan yang sama, yaitu bagaimana rumah tangga bisa
bertahan sampai akhir hanyat.
Beberapa artikel saya baca, ada
beberapa point bisa dijadikan suami istri, agar pernikahan langgeng dan
masing-masing menjadi pribadi lebih arif.
Perbedaan jangan dipemasalahkan, Seperti di awal tulisan, bahwa
suami istri adalah dua orang berbeda, musti disepakati bersama. Sebagai dua
pribadi, lahir dan tumbuh di lingkungan berbeda, dengan latar pendidikan,
pergaulan, lingkungan atau lingkaran pertemanan yang tidak sama. Jadikan
kondisi yang berbeda tersebut, sebagai ajang untuk belajar memahami satu dengan
lainnya.
Mencari Persamaan, Namanya juga dua kepala, tak urung kalau muncul
perbedaan pendapat. Wajar kalau sesekali muncul rasa kecewa atau tidak sreg
sikap dengan pasangan. Namun Ibarat mur dan baut, justru keduanya bisa jadi
satu karena berbeda, mur dan baut berfungsi untuk saling menguatkan. Mur dan
baut yang terpisah, tidak akan bisa berguna dengan optimal.
Saling Melengkapi, dalam pernikahan mari (sebaiknya) mengabaikan ide,
bahwa kita akan cocok dengan orang yang banyak persamaan (pemikiran, sikap, ide
dsb). Kehidupan telah menurunkan takdir, bahwa pasangan yang ada saat ini,
adalah jodoh terbaik diberikan kehidupan. So, seberapapun perbedaan itu,
tumbuhkan sikap saling melengkapi.
Penyesuaian tidak Instan, Proses penyesuaian suami dan atau
istri, membutuhkan waktu dan tidak bisa kita tentukan batasnya. Bisa saja,
penyesuaian terjadi enam bulan, satu tahun, dua tahun dan sebagainya. Focus
pada melalui proses penyesuaian, sembari terus belajar menjadi pribada yang
lebih baik.
Jangan Menang Sendiri, Laki-laki lazimnya mengandalkan
logika, tepi perlu diingat, menang debat (meskipun disertai bukti ilmiah)
dengan istri bukan pencapaian hebat. Perempuan, identik dengan makhluk yang
kerap mengandalkan perasaan, tapi ingat permasalahan tidak selesai dengan
cucuran air mata.
Suami
istri jangan maunya menang sendiri, mesti bersinergi kapan (sebaiknya) memakai
logika dan kapan menggunakan perasaan, keduanya musti diselaraskan.
Mencapai Tahap Penerimaan, Buah dari menyesuaikan, suami dan
istri akan sampai pada (yang disebut) 'penerimaan'. Pada fase 'penerimaan',
inilah pasangan suami/istri seperti berada di pintu kedewasaan.
Sikap
kedewasaan, tidak ditentukan usia, tidak terpengaruh kondisi ekonomi atau
jenjang pendidikan. Dewasa dalam berumah tangga, bisa ditandai bagaimana
suami/istri saling menerima dan sadar peran masing - masing.
Saya
sangat yakin, diadakan tahap (yang bernama) menikah dalam kehidupan ini pasti
ada hal baik dikandung di dalamnya. Maka bagi pasangan suami istri, musti
menjadikan pernikahan sebagai ladang berproses.
Seganteng atau secantik paras,
seberlimpah apapun harta kepemilikan, setinggi jabatan kedudukan dan gengsi,
itu semua bukan jaminan langgengnya pernikahan. Esensi pernikahan adalah,
bagiamana suami dan atau istri belajar untuk melunturkan ego diri.
Sumber: kompasiana.com/agunghan/
0 komentar:
Posting Komentar