![]() |
Sumber gambar: belapendidikan.com |
Filsafat sering difitnah sebagai sekularistik, atheis,
anarkis karena suka menyobek selubung-selubung ideologis pelbagai kepentingan
duniawi, termasuk yang tersembunyi dalam pakaian yang alim. Ia tidak sopan. Ia
bagaikan anjing yang menggonggong, mengganggu, mengusik, dan menggigit.
Filsafat harus demikian karena ia secara hakiki adalah ilmu kritis.
Dengan demikian sikap kritis terhadap dirinya sendiri
termasuk hakikat filsafat. Filsafat memang harus mencari jawaban-jawaban,
tetapi jawaban-jawaban tidak pernah abadi. Karena itu filsafat tak pernah
selesai dan tak pernah sampai pada akhir sebuah masalah. Apa yang sering
dianggap sebagai kelemahan, yaitu bahwa filsafat dalam abad ke-20 ini masih
sibuk dengan problem-problem sama seperti yang sudah dipersonalkan 2500 tahun
yang lalu ternyata membuktikan bahwa filsafat tetap setia pada “metodenya”
sendiri. Masalah-masalah filsafat adalah masalah manusia sebagai manusia, dan
karena manusia di satu pihak tetap manusia, tetapi di lain pihak berkembang dan
berubah, masalah-masalah baru filsafat adalah masalah-masalah lama manusia.
Dalam hal ini secara prinsipil, pemilihan metode tidak
penting-asal metode yang dipilih dipertanggungjawabkan dan terbuka bagi kritik.
Pemutlakan satu metode akan merupakan kematian filsafat sebagai ilmu kritis
karena akan mentabukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak lewat sensor metode
itu. Begitu pula tidak perlu diputuskan apakah filsafat harus lebih dilihat
sebagai “ilmu pengetahuan sekunder” atau metascience sebagaimana menjadi metode
dalam filsafat Anglosaksonian selama 60 tahun abad pertama ini, atau menjadi
“ajaran kebijaksanaan” sebagaimana menjadi tradisi dominan di Eropa kontinental
sejak zaman Yunani - asal filsafat itu
tetap menantang dan ditantang, menuntut pertanggungjawaban dan dituntut untuk
mempertanggungjawabkan diri sendiri, mengusahakan pendalaman suatu
permasalahan, menggali dasar-dasar masalah yang menjadi kesibukannya, termasuk
usahanya sendiri.
Dengan demikian filsafat adalah seni kritik. Bukan
seakan-akan ia membatasi diri pada destruksi, atau seakan-akan takut untuk
membawa pandangan positifnya sendiri. Melainkan kritis dalam arti bahwa
filsafat tidak pernah berpuas diri, tidak pernah membiarkan sesuatu sebagai
sudah selesai, tidak pernah memotong pembicaraan, selalu bersedia, bahkan
senang untuk membuka kembali perdebatan, selalu dan secara hakiki bersifat dialektis
dalam arti bahwa setiap kebenaran menjadi lebih benar dengan setiap putaran
tesis-antitesis dan antitetisnya antitesis.
Sumber: kata pengantar buku Filsafat
Sebagai Ilmu Kritis
Pembaca bisa mengekslor lebih dalam
tentang filsafat sebagai ilmu kritis dengan mendownload link pdf buku Filsafat
Sebagai Ilmu Kritis di bawah ini
0 komentar:
Posting Komentar