![]() |
Sumber gambar: tirto.id |
Buku yang ada di tangan pembaca ini
adalah hasil penyuntingan lebih dari 15 tahun kerja intelektual dan pengajaran
Prof. Dr. Nurcholish Madjid di Pusat Studi Islam Paramadina. Selama masa yang
panjang itu, sejak berdirinya Yayasan Paramadina, sampai masa-masa menjelang
reformasi, Cak Nur—panggilan akrab beliau—terus-menerus memberikan pada
mahasiswa-mahasiswanya di Paramadina, gagasan-gagasan keberagamaan yang segar,
inspiratif, berwawasan universal, kosmopolit, dan penuh kedalaman
spiritual—bahkan kadang-kadang menantang berpikir ulang atas kepercayaan
keagamaan tradisional selama ini. Dalam proses belajar itu, terbentuklah apa yang kemudian disebut
“Komunitas Paramadina”––yaitu ribuan mahasiswa atau murid-murid Cak Nur yang
secara intens terus-menerus mempelajari pemikiran Islam di Paramadina, selama
bertahun-tahun hingga kini. Dalam proses pengajaran Cak Nur itu AlhamduliLâh
sempat tersimpan rekaman ratusan jam perkuliahan Cak Nur, dan catatan-catatan (hand
out), yang sayangnya tak terdokumentasi lagi tanggal pengajarannya itu.
Maka lebih dari 200 kelas (sebanding
400 jam) perkuliahan, ratusan catatan, hand out, dan makalah beliau kemudian ditranskrip, dan
diedit untuk kepentingan penerbitan buku Ensiklopedi Nurcholish Madjid ini.
Tetapi jangan terlalu serius dengan kata “ensiklopedi” dalam buku ini, karena
buku ini memang tidak didesain dari awal sebagai ensiklopedi ilmiah, dengan
pemilihan entri-entri yang ketat sebagaimana layaknya kalau membuat sebuah
ensiklopedi. Buku ini memang dibuat besar—karena itu disebut “ensiklopedi”—sebagai
sebuah memori atas pemikiran yang telah Cak Nur tanamkan dan kembangkan pada
publik intelektual Islam di Indonesia, dengan Paramadina sebagai tempat
persemaian awal mulanya. Di samping, pikiran Cak Nur memang bersifat
“ensiklopedis,” maksudnya meliputi banyak isu dan sangat komprehensif. Sehingga
dengan buku ensiklopedi ini diharapkan tersimpan sebuah dokumentasi pemikiran
Cak Nur yang relatif cukup lengkap. Sehingga dengan buku ini diharapkan dapat
tergambar salah satu wajah Islam yang sekarang dirindukan di Indonesia, yaitu
wajah Islam yang terbuka, toleran, dan penuh keramahan. Sebuah wajah Islam yang
diimpikan Cak Nur terwujud dalam kehidupan keagamaan Islam di Indonesia.
Dalam buku Ensiklopedi Nurcholish
Madjid ini, saya juga telah menulis sebuah pengantar panjang, sekitar 200
halaman, yang mencoba mengikat keseluruhan isi buku ensiklopedi ini, sekaligus
memberi konteksnya dalam pergumulan Cak Nur dengan gagasan-gagasan keislaman,
kemodernan, dan keindonesiaan, tiga hal yang hendak diramu sintesisnya dalam
pemikiran apa pun dari Cak Nur. Pengantar tersebut sengaja dibuat panjang,
untuk memberi gambaran tentang keluasan pemikiran Cak Nur. Tentu saja pengantar
ini tidak bisa mewakili pemikiran Cak Nur secara keseluruhan, tetapi paling
tidak dapat dianggap sebagai jejak pemikiran, untuk mengerti ide-ide Cak Nur,
terutama yang tertuang dalam ensiklopedi ini.
Di dunia akademis, jika seorang
profesor disebut “ensiklopedis,” maka itu berarti ia adalah seorang profesor
yang pengetahuannya sangat luas, dan bisa mengkaitkan keahliannya dengan
berbagai disiplin keilmuan mutakhir. Profesor itu pasti seorang yang
interdisipliner, dan menentang pengkotak-kotakan ilmu pengetahuan yang hanya
berdasarkan skop keahliannya yang sempit. Begitulah Profesor Nurcholish Madjid.
Ia adalah seorang pemikir Islam yang ensiklopedis. Pengetahuan Cak Nur sangat
luas. Mereka yang pernah mendengarkan perkuliahan beliau di Yayasan Paramadina
dapat merasakan vibrasi dari keluasan pandangan Cak Nur itu, bukan hanya dari
perkuliahan beliau, tetapi juga dari bagaimana beliau menjawab
pertanyaan-pertanyaan peserta. Cak Nur selalu bisa mengakomodasi berbagai
pertanyaan, bahkan pemertanyaan (questioning) yang kritis sekali
pun, dan kemudian memperluasnya dari
sudut pandangnya sendiri.
Terus terang, kami sangat terkesan
dengan keluasan pikiran Cak Nur itu, sehingga kami berkeinginan untuk mencatat
apa saja yang telah dipikirkan oleh Cak Nur mengenai Islam. Konon katanya “cara
terbaik untuk mendapatkan ide yang baik adalah dengan mendapatkan banyak ide”.
Dan Konfusius mengatakan, “Without knowing the force of words, it is
impossible to know human beings.” Kalau murid-murid Cak Nur sangat terkesan
bagaimana ia selalu bisa menjawab kegelisahan peserta Paramadina dalam mencari
Kebenaran, berdasarkan apa yang dikatakan Konfusius itu, maka sekarang kami
tahu bahwa kekuatan Cak Nur dalam memberikan ide-ide, adalah karena ia sendiri
sangat banyak ide! Dan untuk mengetahui kehebatan Cak Nur, maka perlu tahu
pikiran-pikiran apa yang tersimpan dalam memori Cak Nur. Maka berdasarkan
inspirasi itu, direncanakanlah sebuah program untuk mendokumentasikan pikiran
Cak Nur. Program ini mulai dikerjakan sejak Cak Nur berangkat untuk operasi
transplantasi hati di Cina, sekitar April 2004—yang kemudian dalam pengerjaan
selama setahun, menghasilkan ensiklopedi besar Nurcholish Madjid ini dalam 4
jilid.
Rencananya buku ini akan diluncurkan
ketika Cak Nur sehat, dan memberikan ceramah pada publik yang pertama, setelah
beliau sembuh dari sakit. Tapi rupanya Allah menghendaki lain. Cak Nur telah
meninggalkan kita pada 29 Agustus 2005. Maka, buku ini menjadi sebuah warisan
pemikiran yang kita semua bisa mengaksesnya untuk mengembangkannya lebih
lanjut.
Cak Nur memang seorang ensiklopedis.
Ia mengolah banyak sekali isu keislaman. Boleh dikatakan Cak Nur memikirkan
semua persoalan keislaman di dunia modern—atau lebih tepat perkembangan
pemikiran Islam di tengah globalisasi. Kalau boleh dikatakan paling tidak ada 6
isu paling kontroversi dalam pemikiran Islam dewasa ini—yaitu isu melawan
ide-ide teokrasi, mempromosikan demokrasi, keadilan gender, pluralisme,
kebebasan berpikir, dan mempercayai kemajuan sebagai cara terbaik perkembangan
kemanusiaan—maka Cak Nur boleh dikatakan telah mengembangkan seluruhnya keenam
isu paling kontroversial di dunia Islam dewasa ini. Karena itu, tidak heran
kalau ia sangat mengerti mengenai permasalahan Islam di Indonesia dewasa ini.
Anehnya—atau malah seharusnya tidak aneh—Cak Nur selalu menegaskan bahwa
masalah umatIslam itu bukan masalah doktrinal, tetapi hanya psikologis.
Keyakinan ini membuat Cak Nur menganut suatu paham liberal syari‘ah.
Bahwa pada dasarnya agama Islam itu sangat mendukung ide-ide paling baik dari
kemajuan zaman. Islam betul-betul kompatibel dengan modernitas. Atau, malah Cak
Nur menegaskan bahwa kekuatan Islam itu justru ada pada kemodernannya itu. Maka
Cak Nur, dengan tanpa halangan mental apa pun, mampu mengelaborasi Al-Quran,
sunnah, dan tradisi Islam untuk menjelaskan segala isu Islam modern. Itu
sebabnya, ia sangat kental dengan usaha pengembangan hermeneutika Al-Quran.
Cak Nur sering disebut sebagai
pengikut Fazlur Rahman, tetapi Cak Nur sebenarnya lebih dekat kepada Ibn
Taimiyah. Bahkan boleh dikatakan ia merevitalisasi Ibn Taimiyah untuk persoalan
kontemporer. Banyak isu pluralisme yang dikembangkan Cak Nur, bersumber dari
Ibn Taimiyyah ini. Fazlur Rahman pasti berpengaruh pada Cak Nur, tetapi hanya
dari segi metodologis, terutama bagaimana Fazlur Rahman mempunyai kemampuan
menafsirkan Al-Quran (yang dituangkan dalam bukunya, Major Themes of the
Qur’an). Nah, seperti juga Fazlur Rahman, akhirnya mata air sumber
pemikiran Cak Nur adalah Al-Quran itu sendiri. Dan yang menarik ia berhasil
menunjukkan sebuah “skripturalisme” (cara membaca secara literal dari Al-Quran)
yang berbeda dari kalangan fundamentalis yang biasanya konservatif.
Skripturalisme Al-Quran Cak Nur ternyata sangat liberal, memberikan segi-segi
substantif. Dan kalau kita tanya pada Cak Nur mengapa ia bisa menegaskan
keliberalan Al-Quran, ia hanya akan menjawab, “Kalau begitu yang liberal adalah
Al-Qurannya!” Dan bersamaan dengan itu ia menjadi sangat prihatin, karena
banyak gerakan Islam dewasa ini menjadi lebih konservatif dari Al-Qurannya
sendiri. Itu sebabnya Cak Nur menegaskan bahwa masalah umat Islam itu bukan
doktrinal, tetapi psikologis saja, minder kepada kemajuan Barat, dan takut
mengakomodasinya.
Maka dari sudut pemikiran teologi
yang optimistis dan penuh keterbukaan, sebenarnya posisi umat Islam di
Indonesia dalam menghadapi globalisasi, menurut Cak Nur, tidaklah terlampau
sulit. Di luar masalah psikologis itu—di mana sebagian umat Islam cenderung menutup diri, reaktif, malah
kemudian menjadi agresif, dan membenarkan tindak kekerasan (yang sebenarnya
bertentangan dengan klaim bahwa Islam adalah agama yang rahmatan li
al-`alamin)—maka yang perlu dihadapi umat Islam tidak lain ialah, bagaimana
menghidupkan kembali nilai-nilai keislaman klasik (salaf) yang murni dan
menerjemahkannya kembali dalam konteks ruang dan waktu yang ada.
Cak Nur memang sangat mengidolakan
masa klasik Islam sebagai contoh kemodernan Islam, dan tidak tanggung-tanggung
banyak catatan para pemikir Barat yang dikumpulkan oleh Cak Nur untuk mendukung
kemodernan masa salaf ini. Sarjana-sarjana modern seperti Robert N. Bellah,
Marshall Hodgson, Ernest Gellner, Bernard Lewis, Cyril Glasse, Bertrand
Russell, dan sebagainya, semua mengamini sebuah model masyarakat klasik, yang
sangat baik bagi umat Islam untuk dikembangkan lagi di masa modern ini. Dan untuk proses ke arah
itu tidak harus ditempuh dengan melakukan kompromi dan mengalah kepada desakan-desakan
luar (seperti mengubah ajaran Islam), tetapi justru dengan kembali ke asal dan
mengembangkan nilai-nilai asasinya sendiri. Di sinilah, menurut Cak Nur,
relevansinya kembali kepada Kitab Suci dan Sunnah Nabi. Dengan metodologi
pengembangan hermeneutika Al-Quran ini, Cak Nur membuat suatu pembaruan yang
liberal, yang sudah menjadi agendanya sejak 1970-an, hanya saja sekarang itu
dilakukannya dengan cara yang tidak kontroversial, karena menggunakan
hermeneutika Al-Quran. Tetapi rupanya dengan cara yang Quranik ini pun Cak Nur
tetap dianggap kontroversial. Memang begitulah kodrat setiap pembaruan.
Sepanjang karier pembaruan Cak Nur,
ia mengolah dan membicarakan banyak ide-ide modern seperti demokrasi, hak asasi
manusia, sosialisme, kapitalisme, humanisme, sekularisme, sains modern, isu
gender, pluralisme, dan seterusnya—yang dapat kita lihat jejaknya dalam
ensiklopedi ini. Menurut Cak Nur, mengolah kembali khazanah terbaik umat
manusia sekarang ini, dan menjadikannya sebagai milik umat Islam adalah hakikat
makna ijtihad atau pembaruan. Bagi Cak Nur, ijtihad atau pembaruan haruslah
merupakan proses terus-menerus sebagai pemikiran yang orisinal, berlandaskan
penilaian atas gejala-gejala sosial dansejarah, yang sewaktu-waktu harus
ditinjau kembali benar salahnya. Ijtihad merupakan suatu proses di mana
kesalahan proses akan mengakibatkan buah yang pahit, yaitu kegagalan.
Sungguhpun demikian, itu pun, menurut Cak Nur, masih lebih ringan daripada
beban stagnasi sosial sejarah akibat tidak adanya pembaruan.
Dan bagi Cak Nur, tidak mungkin ada
ijtihad dan pembaruan yang akan mengubah masyarakat ke arah peradaban, jika
tidak ada organisasiorganisasi penelitian dengan dasar yang kuat, yang
mempunyai metode yang unggul untuk menganalisis situasi apa pun, dan mempunyai
pengetahuan yang tepat tentang perkembangan-perkembangan kemajuan kemanusiaan
dan kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh penemuanpenemuan baru di setiap
bidang, baik sosial maupun alam. Sebenarnya Cak Nur memimpikan Paramadina untuk
tujuan ijtihad seperti ini. Dan ide-ide yang dikemukakannya merefleksikan
fondasi yang dirintisnya untuk menjadikan Paramadina sebagai Pusat Islam (Islamic
Center) yang terkemuka. Pekerjaan pembaruan, menurut Cak Nur, adalah
pekerjaan dari kalangan masyarakat yang
mempunyai kemampuan yang sebesar-besarnya untuk mengerti dan berpikir. Dengan
kata lain, pekerjaan kaum terpelajar, dengan tanggung jawabnya yang berat,
yaitu kemajuan umat Islam, dan kemajuan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Bagaimana cara membaca buku ini?
Pertama buku ini didesain dengan satu entri dapat dibaca satu menit. Dengan
baca satu entri diharapkan ada “one minute enlightment” (pencerahan satu
menit). Maksudnya, diharapkan dengan membaca satu entri (apa pun) ada
pencerahan pikiran yang bisa Anda dapatkan dari pikiran Cak Nur. Kalau itu
tidak tercapai, cukuplah dicapai “one minute wisdom” (satu menit
kearifan), kalau tidak juga, minimal ada “one minute ah-a”. Ada rasa
“a-ha”—sesuatu yang baru. Sebagian besar entri dapat membantu kita mencapai
ketiga kemungkinan hal tersebut. Entri yang tidak memberi a-ha, berarti entri
yang gagal, dan hanya akan memberikan “one minute non-sense!”. Tanggung
jawab kegagalan itu ada pada penyunting. Dan diharapkan masukan, saran, dan
kritik untuk perbaikan pada cetakan mendatang. Dalam banyak halaman, tersedia
kutipan dari pikiran Cak Nur yang diharapkan bisa menjadi inspirasi. Juga
gambar-gambar yang membantu kita supaya dapat membaca relaks, berhadapan dengan
buku setebal ini.
Buku ini tidak dimaksudkan untuk
dibaca semua. Tetapi kalau Anda dapat membaca semua, atau paling tidak sebagian
besar dari entri yang ada, maka akan banyak pemahaman dan inspirasi yang dapat
diperoleh dari Cak Nur. Dan ini merupakan warisan paling berharga dari kerja
intelektual Cak Nur selama di Yayasan Paramadina.
Akhirnya, tanpa bantuan banyak pihak
tentu buku Ensiklopedi Nurcholish Madjid ini tidak akan pernah terbit menjadi
kenyataan. Maka pertama kali, saya sebagai penyunting, mengucapkan rasa syukur
kepada Allah Swt., dan terima kasih kepada guru besar studi Islam saya,
almarhum Prof. Dr. Nurcholish Madjid, yang telah memperkenankan saya
mendampingi beliau dalam masa 12 tahun saya menjadi Direktur Pusat Studi Islam
Paramadina. Dari beliau—setelah saya mempelajari bertahun-tahun isu yang ada
dalam ensiklopedi ini—saya mendapatkan keteguhan iman yang mapan, penuh
kelapangan, pluralis, dan yang paling penting, toleran, di tengah suasana
filosofis skeptisisme posmodernis yang banyak saya pelajari, yang meragukan
arti agama dewasa ini. Terus terang, Cak Nur telah menyelamatkan iman saya dari
ketidakpercayaan akibat gempuran renungan-renungan filosofis yang sangat kritis
terhadap apa pun yang dianggap sebagai pemikiran mapan. Cak Nur memberikan sebuah
istilah filsafat fides quarens intellectum, sebuah keimanan yang diterangi
akal—juga sebaliknya akal yang dicerahkan oleh iman. Dalam masa yang panjang
bersama Cak Nur, saya bersentuhan dengan banyak kuliah, ceramah, hand-out, dan
makalah Cak Nur yang sebagian besar sekarang sudah terdokumentasikan dan
terolah dalam ensiklopedi ini. Terima kasih Cak Nur atas kepercayaan Anda pada
saya untuk memimpin proses penyuntingan ensiklopedi ini. Saya belajar banyak
bagaimana mengerti hakikat agama Islam yang Anda sebut hanîfîyah samhah (keislaman
yang toleran dan penuh kelapangan). Dengan ensiklopedi ini, semoga akan lebih
tersebarluaskan pikiran-pikiran yang telah Anda geluti selama lebih dari tiga
dekade, ke seluruh pelosok Indonesia.
Sumber: Kata Pengantar Budhy
Munawar-Rachman (penyunting) dalam Ensikopledi Nurcholis Madjid Jilid 1.
Pembaca dapat mengakses Ensiklopedi
Nurcholis Madjid pada link pdf di bawah ini
0 komentar:
Posting Komentar