![]() |
Sumber: islam.nu.or.id |
Pada
zamannya, Al Ghazali menyaksikan kecenderungan ekstrem dalam praktik bersuci di
sebagian elite masyarakat. Mereka sangat ketat menjaga kebersihan lahiriah,
seolah sebutir debu pun tak mereka izinkan hinggap di telapak kaki mereka. Bukan
cuma itu, mereka memandang “kumuh” orang-orang yang tampil sederhana dalam beribadah;
semisal orang yang shalat di serambi masjid tanpa sajadah, atau orang yang
berwudhu dari air kendi milik seseorang yang bercelana lusuh. Mereka pun tak
sudi bergaul dan makan bersama dengan orang-orang “kumuh” ini.
Di
mata Al Ghazali, perilaku mereka mencerminkan sikap yang berlebihan menjaga
kebersihan lahir, namun abai dengan kebersihan batin, sehingga tak merasa risih
dengan kotoran riya dan sombong. Ironisnya, mereka mengklaim bahwa diri mereka
lah sesungguhnya pengamal kebersihan sebagaimana dimaksud dalam hadits, “kebersihan
itu setengah daripada iman.”
Al
Ghazali pun amat prihatin dengan penyakit “elitisme” dalam keberagamaan ini. Di
samping itu, dia juga risau oleh penyakit was-was yang menjangkiti sebagian
ahli agama (ahli fikih) yang seharusnya menjadi panutan. Penyakit was-was
(ragu) menjadikan penderitanya berlarut-larut dalam kegiatan bersuci, karena
terlalu khawatir dan berkhayal airnya terkena najis dan wudhunya tidak kunjung
sah. Hingga akhir zaman modern pun, fenomena penyakit was-was masih sering kita
jumpai di sebagian masyarakat “tradisional.”
Dalam
buku ini Al Ghazali mengembalikan makna esensi bersuci sesungguhnya yang seakan
sudah bergeser paradigmanya, pertama-tama dengan menunjukkan praktik bersuci
para sahabat r.a. dan tabi’in r.a. Ternyata, tak bisa disanggah bahwa generasi
awal Islam bersikap mudah dan ringan dalam menjaga kesucian lahiriah. Mereka merasa
cukup menjauhi najis saat mereka melihatnya, tanpa perlu berlebihan memikirkan kemungkinan-kemungkinan
kecil adanya najis bila tak ada wujudnya. Mereka juga biasa shalat di masjid
berlantai tanah.
Al
Ghazali juga memperlihatkan kemudahan menjaga kesucian lahiriah dalam
kesepakatan ulama fikih tentang lima jenis najis yang dima’fu
(dimaafkan) karena sulit dihindari. Contohnya adalah darah atau nanah dari jerawat,
atau debu di jalanan yang tercampur kotoran hewan.
Yang
menarik adalah pilihan Al Ghazali dalam menetapkan syarat-syarat air yang suci
dan menyucikan. Dalam hal ini, Al Ghazali memilih mazhab Maliki yang lebih
longgar, meski dia seorang ahli fikih Mazhab Syafi’i. Ini pun dia lakukan demi
mendukung kemudahan bersuci terutama untuk negeri-negeri yang langka air.
Dari
paparan tentang kemudahan bersuci ini, jelas bahwa Al Ghazali bermaksud
menekankan pentingnya melakukan kegiatan bersuci secara mudah, tidak usah
berlebihan dan merepotkan diri, dengan tetap berpijak pada sikap ketat menjaga
kesuican batin sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw. dan para sahabat r.a.
Yang
amat teristimewa dari Al Ghazali adalah ketajamannya dalam mengungkap berbagai
rahasia batin dan hikmah bersuci. Uraiannya sungguh berlimpah dengan KEINDAHAN
bersuci.
Al
Ghazali berkeyakinan bahwa cahaya kenabian melahirkan perhitungan yang amat
cermat terhadap setiap gerak bersuci. Ambil contoh cara memotong kuku. Al Ghazali
mengatakan tidak menemukan informasi tentang cara Rasulullah saw. memotong kuku
tangan dari riwayat hadits-hadits yang tertulis. Namun, dia mendengar dari
praktik dan tradisi yang dia terima, bahwa Nabi saw. memulainya dari telunjuk
tangan kanan (dalam posisi tangan telengkup), lalu bergerak berurutan ke jari
tengah hingga kelingking tangan kanan, lalu bersambung ke kelingking tangan
kiri hingga jempol kiri dan akhirnya berakhir di jempol tangan kanan. Mengapa harus
memulai dari telunjuk tangan kanan? Karena dibanding seluruh jari tangan kanan,
telunjuklah yang paling mulia karena dia yang bergerak menunjuk ketika
seseorang mengucapkan syahadat dalam tasyahud shalat.
Mengapa
urutan geraknya ke kanan? Karena jemari sebelah kanan lebih mulia (kita tahu,
Nabi saw. selalu mengutamakan anggota tubuh bagian kanan). Tapi, mengapa tangan
kiri harus dimulai dari jari kelingking yang posisinya paling kiri? Masih kata
Al Ghazali, coba tempelkan kedua telapak tangan dan jemari Anda di depan dada. Lalu
cekungkan jemari kedua tangan Anda sehingga kedua kelingking dan kedua jempol
tetap menempel, sementara jari tengah, manis, dan telunjuk merenggang. Lihatlah
dari atas seluruh jari jemari itu, jari-jari itu akan tampak seumpama
orang-orang yang sedang duduk melingkar dalam sebuah halaqah pengajian. Maka, kelingking
tangan kanan memang secara estafet menyambung dengan kelingking tangan kiri,
sehingga urutan pemotongan kuku itu sambung menyambung membentuk gerak
melingkar. Tidakkah menakjubkan bagaimana Al Ghazali menggali hikmah di balik
kegiatan memotong kuku yang tampak sepele ini?
Berdasar
kecermatan perenungannya, Al Ghazali pun meyakini praktik menggunting kuku
tersebut, meski tidak tertulis dalam riwayat hadits shahih bersumber dari
Rasulullah saw.
Sumber:
kata pengantar buku Rahasia Bersuci karya Imam Al Ghazali
Untuk mengulas
lebih dalam kitab Rahasia
Bersuci karya Imam Al Ghazali, pembaca
bisa mengakses versi luring/ offline pada link pdf di bawah ini
0 komentar:
Posting Komentar