![]() |
Sumber gambar: tirto.id |
Revolusi Bani Abbasiyah berhasil
menggulingkan kekuasaan Bani Umayyah dan menjadi dinasti kedua yang menguasai
kekhalifahan Islam.
Bani Abbasiyah mendapatkan namanya dari paman Nabi Muhammad, Abbas, yang menjadi
kepala keluarga klan itu. Mereka bermukim di sebelah timur sungai Yordan
setelah penaklukan Suriah dan secara umum menjauhkan diri dari politik saat
perang saudara berkecamuk pada 600-an Masehi.
Namun, pada awal 700-an, menurut Tayeb El-Hibri dalam Parable and
Politics in Early Islamic History: The Rashidun Caliphs (2010), mereka
mulai mengembuskan rumor bahwa salah satu keturunan Ali bin Abu Thalib secara
resmi telah memindahkan hak kekuasaan kepada Bani Abbasiyah. Mengapa mereka
melakukannya atau apakah memang itu terjadi, masih merupakan misteri. Dari
perspektif praktis, ini memberikan legitimasi kepada Bani Abbasiyah (hlm. 207).
Mereka tidak hanya lebih dekat hubungannya dengan Rasulullah SAW ketimbang
Bani Umayyah, tetapi juga menegakkan keinginan kalangan yang mendukung
keturunan Ali sebagai pemimpin dunia Islam. Dari wilayah basis di selatan
Suriah dan Irak, mereka mengirim wakil-wakil ke Khurasan pada bulan suci
Ramadan, 129 Hijriah. Di sana, penduduk Persia dapat digerakkan untuk mendukung
dan mendeklarasikan pemberontakan melawan Bani Umayyah yang menindas (hlm.
208).
Sepanjang 730-an dan 740-an, diucapkanlah sumpah setia jaringan sekutu yang
jauh dari basis Bani Umayyah di Damaskus. Bani Abbasiyah memberikan janji
masyarakat yang lebih setara di bawah kekhalifahannya dan secara samar menjamin
keturunan Ali akan memainkan peranan lebih besar dalam pemerintahan Islam,
sesuai keinginan banyak Muslim di bagian timur kekhalifahan.
Dengan demikian, Bani Abbasiyyah mampu mengamankan dukungan berbagai
kalangan masyarakat. Sokongan datang antara lain dari ahli ibadah yang ingin
menyaksikan pemerintah yang lebih mengikuti teladan Nabi. Selain itu, ada
kelompok non-Arab Muslim yang marah atas status kelas dua mereka. Terakhir,
pengikut setia Ahlulbait yang meyakini bahwa seharusnya kekuasaan
menjadi milik keluarga Nabi.
Mengobarkan Revolusi secara Terbuka
Menurut Marshall G.S. Hodgson dalam The Venture of Islam: Conscience and
History in a World Civilization [Volume 1: The Classical of the Age Islam]
(1974), pada 747 M, Bani Abbasiyah secara resmi menyatakan pemberontakan
terbuka di kota Merv, yang sekarang masuk wilayah Turkmenistan. Revolusi ini
dipimpin tokoh misterius yang dikenal sebagai Abu Muslim (hlm. 244)
Tak banyak yang diketahui tentang Abu Muslim. Tetapi dia memang tidak
tampak sebagai anggota keluarga Abbasiyah dan mungkin berasal dari etnis
Persia. Di bawah kepemimpinannya, revolusi Bani Abbasiyah dengan cepat bisa
mengambil kendali Khurasan, yang segera menjadi basis pergerakan (hlm. 245).
Abu Muslim mengirim pasukan ke arah Barat, masuk ke jantung Persia. Di
sana, penduduk lokal Muslim bangkit melawan Umayyah dan bergabung dengan
semangat revolusioner. Situasi yang awalnya terlihat sebagai ungkapan
ketidakpuasan yang tidak berbahaya di Merv, kini mengancam eksistensi Dinasti
Umayyah, terutama saat pasukan Abbasiyah ke luar dari Persia dan masuk ke dunia
Arab.
Kufa, yang pernah menjadi pusat sentimen anti-Umayyah, mulai bangkit lagi
melawan gubernur Umayyah dan mengusirnya saat bendera hitam Abbasiyah tampak di
horison timur. Begitu Kufa dibebaskan, pengambilan sumpah setia dapat dilakukan
kepada calon khalifah dari Abbasiyah, Abu al-‘Abbas. Revolusi ini punya tujuan
jelas, dukungan luas dari seluruh Persia, dan seorang pemimpin untuk menyatukan
semuanya. Di setiap tempat, Umayyah berada dalam posisi bertahan saat semakin
banyak orang berkumpul mendukung Abbasiyah.
Bani Umayyah Terdesak
Sementara itu, upaya membangkitkan pendukung Umayyah
ternyata bukan perkara mudah. Sudah beberapa dekade berlalu sejak ancaman nyata
terhadap posisi Umayyah mulai muncul, tetapi pejabat pasukan Suriah hanya
berdiam diri dan dengan keliru menganggap kekuatan revolusi itu perlahan-lahan
akan surut. Saat khalifah Marwan II berhasil mengumpulkan kekuatan Umayyah,
Abbasiyah telah mengambil kendali atas sebagian besar Irak.
Hugh Kennedy dalam When Baghdad Ruled the Muslim
World: The Rise and Fall of Islam’s Greatest Dynasty (2005) menelatah bahwa
pada awal 750 Masehi dalam Perang Zab di Mesopotamia tengah, kekuatan Abbasiyah
berhasil memukul mundur penuh pasukan Umayyah. Perlawanan terorganisasi
terhadap Abbasiyah secara efektif berakhir setelah perang itu, seiring
runtuhnya kendali Umayyah di seluruh dunia Islam. Sejak saat itu, tidak ada
lagi penghalang antara Abbasiyah dan ibu kota Umayyah, Damaskus.
Satu demi satu, kota-kota menyerah dan menerima
kedaulatan Abbasiyah. Satu per satu anggota keluarga Umayyah diburu dan dihukum
mati. Marwan sendiri tertangkap di Mesir, tempat dia gagal mengumpulkan pasukan
yang akan memukul mundur Abbasiyah dan mengendalikan Umayyah kembali (hlm.
32-3).
Hanya satu anggota keluarga Umayyah yang berhasil
lolos dari revolusi. Menurut W. Montgomery Watt dalam The Majesty that was
Islam: The Islamic World, 661-1100 (1974), Abdul Rahman yang masih
remaja, anggota keluarga Umayyah yang relatif tidak dikenal, mampu lolos dengan
menyamar ke Afrika Utara. Dia dikejar-kejar pasukan Abbasiyah dari Palestina,
ke Mesir, sampai Magribi, dan hanya dikawani oleh budak yang pernah bekerja untuk
keluarganya. Perjalanan legendarisnya membawa dia sampai ke Andalusia. Di sana
dia mendirikan emirat Umayyah, jauh dari jangkauan Abbasiyah yang akan bertahan
hampir selama 300 tahun (hlm. 95).
Revolusi Abbasiyah pada pertengahan 700-an itu
menghasilkan dinasti kedua dalam sejarah kekhalifahan Islam. Pemberontakan itu
didasari gagasan untuk membangun pemerintahan yang lebih sejalan dengan teladan
Nabi, menyediakan tempat yang lebih pantas bagi non-Arab dalam masyarakat, dan
memberikan sejumlah peran kepemimpinan bagi keturunan Ali.
Janji-janji besar dan idealistis itu memang diperlukan
untuk menggalang dukungan para sekutu. Tapi, begitu Abbasiyah berkuasa,
realitas kekhalifahan mereka tak seperti yang diharapkan. Revolusi ini tidak
serta-merta membuat dunia Islam kembali ke era Khulafaur Rasyidin ketika
kesalehan, bukan politik, yang mendikte keputusan khalifah.
Sebaliknya, khalifah Abbasiyah meneruskan tradisi
otoritarian yang sama dengan yang mereka cela dari Umayyah. Khalifah tetap
menjadi gelar keturunan milik orang-orang Quraisy. Dan mereka yang mendukung
keluarga Ali sebagai khalifah ditinggalkan begitu saja tanpa dipenuhi janjinya.
DINASTI ABBASIYAH: PIONIR PENGEMBANGAN ILMU
PENGETAHUAN DAN SAINS DALAM SEJARAH ISLAM
Bani
Abbasiyah adalah kekhalifahan atau pemerintahan dalam sejarah Islam yang
memimpin pada tahun 32 H/750 M setelah Bani Umayyah tumbang di tangan pasukan
Abu Abbas melalui pertempuran di suatu wilayah di Damaskus.
Dinasti
Abbasiyah merupakan kekhalifahan terlama yang pernah memimpin sepanjang sejarah
Islam, yaitu pada tahun 750-1258 M. Naiknya dinasti ini ke dalam tahta
kepemimpinan Umat Islam saat itu tidak lepas dari banyak faktor. Diantaranya
adalah adanya sebagian umat yang memandang bahwa Dinasti Umayyah tidak berlaku
adil dan hanya memihak kepada sebagian kelompok saja. Ada juga sebagian
kelompok yang merasa hak-haknya dirampas seperti kelompok Syiah. Dan juga
orang-orang non-arab (Mawalli) yang tidak diberlakukan secara adil
dengan dibebankan membayar pajak lebih besar dari orang arab.
Faktor-faktor
tersebutlah yang membuat Bani Abbasiyyah mendapatkan banyak dukungan dari
pelbagai pihak sampai memastikan kursi kekhalifahan pada waktu itu berpindah
tangan dari Bani Umayyah kepada Bani Abbasiyah dengan melalui perebutan wilayah
sampai menyisakan satu wilayah kekuasaan Bani Umayyah, yaitu Andalusia.
Nama Bani
Abbasiyah sendiri dinisbahkan kepada paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu
Abbas bin Abdul Muthalib. Hal ini menunjukan pertalian yang erat antara
keluarga Bani Abbas dengan Nabi Muhammad Saw. Sementara itu, pusat pemerintahan
Bani Abbasiyah sendiri berpusat di kota Baghdad.
Dinasti ini
mengalami masa kejayaan pada awal-awal masa kepemimpinannya. Yaitu pada masa
Harun Ar Rashid yang pernah memerintah pada tahun 786-809 M dan putranya yaitu
Al Ma’mun yang menjabat pada tahun 813-833 M.
Pada masa
kepemimpinan Harun Ar Rashid, hal yang paling diutamakan adalah sektor sosial
dan kesehatan. Terbukti dengan dibangunnya fasilitas kesehatan seperti rumah
sakit beserta penunjangnya yaitu berupa lembaga akademi
pendidikan dokter dan farmasi. Lain hal dari sektor kesehatan, kesejahteraan
masyarakat terus ditingkatkan dan pendidikan untuk semua masyarakat sangat
diutamakan. Pada masa inilah, peradaban islam semakin menguat dan tak
tertandingi oleh siapapun.
Sementara
itu pada masa kepemimpinan Al Ma’mun putra Harun Al Rasyid, bidang pendidikan
adalah hal yang paling utama yang diperhatikan. Pada masanya, peradaban islam
di bidang keilmuan mencapai masa keemasannya. Karena kecintaan terhadap ilmu
Filsafat, Khalifah Al Ma’mun menggalakkan penerjemahan buku filsafat barat ke
dalam bahasa arab supaya mudah dipelajari.
Bahkan,
Khalifah Al Ma’mun rela membayar sebagian kalangan orang non-muslim untuk
menerjemahkan buku-buku tersebut ke dalam bahasa arab. Bukan hanya itu, banyak
juga fasilitas pendidikan yang dibangun seperti madrasah dan lainnya. Salah
satunya adalah Baitul Hikmah yang menjadi pusat penerjemahan sekaligus
perguruan tinggi yang dilengkapi dengan perpustakaan besar. Pada masa al-Ma’mun
inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Para ilmuwan
pada masa Dinasti Abbasiyah melakukan banyak kajian keilmuan dengan cara
menerjemahkan buku-buku dari Yunani lalu mempelajarinya. Dengan cara seperti
itulah ilmu pengetahuan dapat berkembang dengan sangat pesat.
Dilihat dari
permulaan pemerintahan Bani Abbasiyah, ternyata banyak sekali perubahan yang
telah dilakukan, lebih banyak dari masa pemerintahan sebelumnya yaitu Dinasti
Bani Umayyah.
Pergantian
dari Bani Umayyah ke Bani Abbasiyah bukan hanya sebatas perubahan kepemimpinan
saja, akan tetapi juga mampu merubah banyak hal. Dinasti Abbasiyah mampu
menorehkan sejarah bahwa Islam mampu mengembangkan refleksi kegiatan ilmiah
dengan adanya pengembangan wawasan dan disiplin keilmuan.
Pada Dinasti
Abbasiyah inilah, pendidikan sangatlah merata dengan adanya madrasah-madrasah
yang terbentang dari desa sampai kota. Oleh sebab itu, tidak mengherankan
perkembangan ilmu pengetahuan sangatlah maju dan peradaban islam mencapai
puncak kejayaannya.
Dinasti
Abbasiyah secara turun-temurun telah melahirkan sebanyak tiga puluh tujuh
khilafah yang berkuasa dalam kurun waktu yang cukup sangat panjang, yaitu sekitar
tiga ratus tahunan. Selama itu pulalah, perkembangan dunia Islam sangat
berkembang pesat dalam sektor dan bidan apapun, khususnya keilmuan.
Namun
lagi-lagi sangat disayangkan, semua kejayaan itu berakhir dengan pilu. Bagaimana
tidak, perang komunal antar saudara terjadi di mana-mana, dan pemberontkan
terus terjadi menggerogoti sendi-sendi kekuakasaan islam saat itu. Dan
puncaknya, adalah ketika terjadi serangan dari bangsa Mongol yang mengakibatkan
luluh lantahnya Baghdad pada waktu itu.
Sumber:
tirto.id dan bincangsyariah.com
Untuk mengulas
lebih dalam tentang Bani Abbasiyah, pembaca bisa mengakses versi luring/
offline pada link pdf di bawah ini
0 komentar:
Posting Komentar