![]() |
Sumber gambar: economist.com |
Hingga kini, wacana keislaman boleh
dikatakan masih berkutat pada bagaimana Islam harus dipandang setelah agama
tersebut berjalan lebih dari lima belas abad lamanya semenjak ia dilahirkan,
dan sedang dihadapkan dengan prestasi “pihak lain” dengan berbagai keajaiban
modernitasnya. Pandangan terhadap hal tersebut sangatlah penting, terutama di
era-era belakangan ini.
Sebagai sebuah komunitas, umat Islam
memiliki keyakinan bahwa mereka adalah umat terbaik (khair al-ummah).
Akan tetapi, pada saat yang sama mereka sedang berada dalam posisi “tidak
berdaya” menghadapi apa saja yang diluncurkan dari pihak lain yang oleh
sebagian besar di antara mereka dianggap sebagai “musuh” yang tidak boleh
didekati, dah bahkan justru harus diperangi dan disingkirkan. Mengambil begitu
saja apa yang datang dari mereka akan berakibat lenyapnya jati diri yang sudah
mengakar. Akan tetapi, tetap mempertahankan diri dengan bersikap eksklusif juga
akan berakibat pada munculnya proses alienasi diri dari kehidupan. Jika
demikian masalahnya, lantas bagimana umat Islam harus bersikap terhadap teks
dasar keagamaan Islam (Al-Qur’an dan Hadits) dan juga terhadap tradisi Islam,
serta bagimana juga umat Islam harus mengambil posisi dalam kancah pertarungan
ideologi, politik, pemikiran, dan kebudayaan modern saat ini? Jika kita harus
merujuk pada masa silam Islam, pertanyaannya: Islam mana yang mungkin dapat
dirujuk kembali dalam menghadapi situasi seperti itu dan juga bagaimana menarik
ulang Islam tersebut ke pentas kehidupan modern?
Dalam kaitan ini, paling tidak ada
tiga alternatif yang mungkin bisa dipilih dan dijadikan acuan, dan dari salah
satu dari ketiganya atau bahkan dari ketiga-tiganya bisa kita terapkan dan
hadirkan kembali dalam kehidupan modern sekalipun hal itu juga tidaklah mudah.
Ketiga acuan tersebut adalah: pertama, merujuk pada teks dasar Islam,
yaitu Al-Qur’an. Kedua, merujuk pada seluruh tradisi yang muncul pada
era kenabian sebagai bentuk aplikasi dari yang pertama. Dan, ketiga,
merujuk pada keseluruhan produk dari interaksi tripartit antara umat Islam,
teks-teks keagamaan (Al-Qur’an, al-hadis, dan riwayat-riwayat sahabat), dan
situasi yang melingkupi mereka sepanjang sejarah.
Meskipun demikian, menarik kembali
apa yang mungkin disebut dengan “islam” ke dalam pentas kehidupan modern tentu
tidak dapat dilakukan begitu saja dengan menghadirkan ulang secara apa adanya
acuan tersebut. Hal itu karena pada saat kemunculannya, teks dasar Islam
melakukan interaksi dengan ruang dan waktu sebelum kemudian membentuk tradisi.
Artinya, ia sendiri sudah tidak lagi “polos” atau “telanjang”, dan tradisi
bentukan teks dasar tersebut muncul dalam kondisi tertentu. Ia unik dan
terbatas. Kalau saja tradisi pertama muncul secara demikian maka
tradisi-tradisi berikutnya terbentuk dalam situasi yang lebih kompleks. Oleh
karena begitu rumitnya persoalan tersebut maka sangat wajar jika umat Islam pada
umumnya dan masyarakat muslim Arab pada khususnya sering mengalami kegamangan
di dalam mengambil sikap terhadap kekayaan tradisi yang mereka miliki pada satu
sisi, dan juga terhadap munculnya modernitas yang merambah dunia Arab-Islam di
sisi yang lain.
Penulis buku ini, Ali Ahmad Said,
atau yang lebih popular dengan nama Adonis, di dalam buku ini, memetakan watak
kecenderungan masyarakat Arab-Islam dalam menyikapai persoalan tersebut ke
dalam dua kategori, yaitu watak imitatif (ittiba’) dan watak kreatif (ibda’)
dalam keseluruhan perwujudan budaya dan peradaban mereka Buku yang ada di
tangan pembaca ini pada mulanya merupakan disertasi Adonis yang diajukan pada
program Sastra Timur di St. Yosef University Beirut, untuk memperoleh gelar
Doktor dalam sastra Arab. Buku ini berjudul asli Ats-Tsâbit wa
al-Mutahawwil: Bahts fî al-Ibdâ’ wa al-Ittibâ’ inda al-’Arab (“Yang
Mapan-Statis dan Yang BerubahDinamis: Kajian atas kreativitas dan
konservativitas menurut bangsa Arab”). Di sini, “yang mapan” (ats-tsâbit)
dalam bingkai kebudayaan Arab-Islam didefinisikan oleh penulis sebagai
pemikiran yang berdasar pada teks, dan yang menjadikan sifat kemapanannya
sebagai dasar bagi kemapanan, baik dalam memahami maupun mengevaluasi. Selain
itu, “yang mapan” juga menegaskan dirinya sebagai makna satu-satunya yang benar
bagi teks tersebut, dan berdasarkan hal itu, ia menjadi otoritas epistemologis.
Sementara “yang berubah” (al-mutahawwil) didefinisikan oleh Adonis dalam
dua pengertian: pertama, sebagai pemikiran yang berdasar pada teks,
namun melalui interpretasi yang membuat teks dapat beradaptasi dengan realitas
dan perubahan, dan kedua, sebagai pemikiran yang memandang teks tidak
mengandung otoritas sama sekali, dan pada dasarnya pemikiran tersebut
didasarkan pada akal, bukan naql (tradisi atau wahyu). Akan tetapi,
berdasarkan pengamatan dan penelitian Adonis, “yang mapan” (ats-tsâbit)
dalam sejarah kebudayaan Arab-Islam ternyata juga tidak selalu mapan dan
statis, begitu juga dengan “yang berubah” (almutahawwil), ia tidak selalu
berubah dan dinamis.
Dalam buku ini, Adonis begitu cermat
menggambarkan dan memetakan kecenderungan pemikiran dan kebudayaan Arab-Islam.
Ia berhasil memotret gerak kebudayaan Arab-Islam yang menurutnya selalu terjadi
pertentangan dan pertarungan antara pihak atau kelompok yang menginginkan
ortodoksi (kemapanan) dengan pihak atau kelompok yang menginginkan perubahan
dalam semua lini (teologi, politik, budaya, hukum, dan bahasa-sastra-puisi),
yang mana masing-masing kelompok merasa sebagai pihak yang benar. Tarik menarik
kepentingan dan juga perebutan klaim kebenaran itulah yang membuat gerak
sejarah-kebudayaan Arab-Islam menjadi berkembang dinamis, meskipun di sisi yang
lain terkadang justru memunculkan anomali dan bahkan tidak jarang juga memakan
korban jiwa.
Di sini harus diakui bahwa konteks
kajian buku ini adalah kehidupan masyarakat Arab-Islam. Namun demikian, hal itu
bukan berarti bahwa buku ini tidak memiliki konteks dan relevansi untuk
masyarakat Indonesia. Sebab, masyarakat di kedua wilayah ini memiliki banyak
kesamaan secara sosiologis dan juga keagamaan sehingga persoalan-persoalan yang
muncul di wilayah Arab-Islam juga memiliki banyak kesamaan dengan persoalan
yang muncul di negeri ini, terutama terkait dengan bagaimana memahami dan
menyikapi hubungan antara teks dasar Islam (Al-Qur’an) dan tradisi keilmuan
Islam dengan modernisasi yang merambah ke seluruh pelosok dunia, termasuk
Indonesai.
Dalam konteks ke-Indonesia-an,
pertentangan antara pihak yang menghendaki kemapanan dengan yang menghendaki
perubahan serta pertarungan untuk memperebutkan apa yang diklaim sebagaai
“kebenaran” juga tidak kalah kerasnya. Masing-masing pihak saling bersaing dan
bahkan tidak jarang saling menjegal untuk mendapatkan apa yang diklaim oleh
mereka sebagai “yang benar”. Puluhan kelompok keagamaan di negeri ini berebut
klaim sebagai pihak yang memiliki kebenaran, sementara kelompok lainnya, yang
berada di luar kelompoknya, dianggap sebagai pihak yang salah sehingga harus
disingkirkan atau terkadang bahkan dianggap sah untuk dihancurkan.
Jika dicermati secara seksama,
pertarungan untuk memperebutkan kebenaran, atau yang diklaim sebagai “yang
benar”, yang terjadi di negeri ini dalam seluruh aspeknya: ideologi, politik,
hukum (Islam), dan kebudayaan, juga bertitik tolak dari bagaimana masing-masing
kelompok menafsirkan, memahami, dan mendudukkan teks dasar keagamaan Islam
(Al-Qur’an) serta tradisi keagamaan Islam dalam kehidupan modern sekarang ini.
Sebagian kelompok mendasarkan seluruh pengetahuannya tentang kebenaran pada Al-Qur’an
dan as Sunnah. Sementara sebagian yang lain mendasarkan pengetahuannya pada
nalar, di samping tentunya juga tetap merujuk pada AlQur’an dan as-Sunnah. Di
sisi yang lain, ada juga kelompok yang mencoba memadukan dua kecenderungan di
atas. Kelompok ini sering disebut atau “mengklaim diri” sebagai kelompok
moderat, meskipun dalam kenyataannya kelompok yang terakhir ini lebih dekat
dengan kelompok pertama, dan sering ikut memusuhi kelompok kedua.
Bagi kelompok pertama, kebenaran,
seluruhnya, ada pada teks lahiriah Al-Qur’an dan as-Sunnah dan bahwa kehidupan
yang ideal dalam semua aspeknya adalah kehidupan pada masa nabi. Oleh karena
itu, carut-marutnya kehidupan sekarang ini dinilai oleh kelompok ini sebagai
akibat dari sikap umat Islam yang tidak mau lagi menjadikan Al-Qur’an dan
as-Sunnah sebagai rujukan dan dasar dalam menjalani kehidupan. Begitu juga
kemajuan teknologi dan juga pradaban yang terjadi pada saat ini dianggap
sebagai bukan sebuah kemajuan dan tidak memiliki nilai apa pun karena dinilai menyimpang
dari Al-Qur’an dan as-Sunnah: tidak Islami. Bagi kelompok ini, kemajuan dan
kesempurnaan hanya ada pada masa nabi sehingga mereka selalu dan akan terus
berjuang untuk mewujudkan kehidupan seperti yang terjadi pada masa nabi
tersebut. Ini mengandung arti bahwa gerak kehidupan dan kebudayaan dalam
seluruh aspeknya harus ditarik mundur menuju kehidupan masa nabi, yakni
kehidupan yang Islami. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di negeri kita
saat ini muncul segala sesuatu yang coba diberi citra “Islam”, seperti Perda
Syari’at Islam, Ekonomi Islam, Perbankan Islam (Syari’ah), matematika Islam,
dan juga muncul wacana khilafah, sebuah konsep politik-kekuasaan yang khas
Islam era klasik dan pertengahan.
Sementara itu, bagi kelompok kedua,
kebenaran tidak selamanya bersumber dan ada pada Al-Qur’an dan as-Sunnah,
tetapi nalar (al-aql) juga dapat menemukan kebenarannya sendiri. Meskipun
demikian, hal itu bukan berarti bahwa kelompok ini menafikan kebenaran
Al-Qur’an dan as-Sunnah. Hanya saja, bagi kelompok ini kebenaran tidak terletak
pada teks lahiriah A-Qur’an dan as-Sunnah seperti yang dipahami kelompok
pertama, tetapi ada pada nilai-nilai dasar yang terkandung dalam kedua sumber
tersebut. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman rasional dan juga penggalian
atas nilainilai dasar yang terkandung dalam A-Qur’an dan as-Sunnah, yang mana
hal itu tentu tidak bisa dilakukan tanpa campur tangan nalar (al-aql). Dengan
demikian, kelompok ini, berbeda dari kelompok yang pertama, mendudukkan nalar
(al-aql) dalam posisi yang sangat penting di dalam proses mencari kebenaran.
Dua kecenderungan di atas,
merepresentasikan adanya pertarungan wacana di antara kelompok-kelompok
keagamaan yang ada di negeri ini untuk memperebutkan apa yang diklaim oleh
mereka sebagai “yang benar”. Sayangnya, dalam kehidupan praksis keagamaan,
pertarungan wacana tersebut sering kali diiringi dengan pertarungan urat saraf
dan bahkan tidak jarang melibatkan kekuatan fisik. Kelompok yang menghendaki
kemapanan sering kali menunjukkan dominasinya atas kelompok pinggiran dengan
cara memberikan stereotipe negatif, seperti menuduh tokoh atau kelompok lainnya
yang memiliki pandangan atau cara beragama secara berbeda sebagai ateis, ahl
bid’ah, atau Islam sesat, dan bahkan tidak jarang mereka juga melakukan
penghakiman terhadap pihak yang dianggap menyimpang tersebut. Ada banyak contoh
mengenai hal tersebut. Peristiwa pencekalan terhadap salah seorang tokoh senior
NU karena dianggap melecehkan Al-Qur’an; penghakiman terhadap salah seorang
ustadz di Malang dan ustadzah di Jakarta karena dianggap mengajarkan kesesatan,
pengrusakan terhadap kantor dari salah satu organisasi keagamaan yang terjadi
di berapa daerah, dan peristiwaperistiwa lain yang terjadi di negeri ini,
semuanya menunjukkan bahwa kelompok ini ingin meneguhkan dominasinya atas
kelompokkelompok yang lain dengan semua cara. Hal ini jelas sangat mirip dengan
yang terjadi di dunia Arab-Islam di mana kelompok dominan yang menghendaki
kemapanan sering memaksakan kehendak dan pemikirannya pada pihak lain yang
tidak sepaham.
Buku ini akan memberikan informasi
yang detil dan “telanjang” atas seluruh sisi kehidupan masyarakat Arab-Islam
dan juga tentang gerak kebudayaan dan pemikirannya yang disertai dengan
pertentangan dan pertarungan yang begitu keras di antara kelompok yang
menghendaki kemapanan (status quo) dan yang menginginkan perubahan. Begitu
terbuka, detil, dan kontrvfersialnya pemberitaan yang ada dalam buku ini serta
begitu kritisnya Adonis dalam melihat dan membaca setiap informasi (data) yang
ada maka tidak mengherankan jika kritik dan juga cemoohan banyak dialamatkan
pada buku ini dan juga kepada penulisnya. Akan tetapi sayangnya, kritikan
tersebut lebih sering muncul dari tokoh yang sebenarnya tidak paham dengan
gagasan yang diusung oleh Adonis. Oleh karena itu, kehadiran buku ini
diharapkan akan mampu memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang gerak
kebudayaan Arab-Islam. Selain itu, buku ini juga diharapkan bisa memberikan
wacana dan perspektif baru atas sejarah dan pemikiran Arab-Islam dengan segala
dinamikanya.
Sumber kata pengantar buku Arkeologi
Sejarah Pemikiran Arab-Islam
Bagi pembaca yang hendak menggali
lebih dalam isi buku Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam dapat mendownload
versi luring/ offline pada link pdf di bawah ini
0 komentar:
Posting Komentar