![]() |
Sumber gambar: tirto.id |
Bagi Ki Hadjar, pendidikan karakter
bisa ditempuh lewat kesenian dan kebudayaan. Tiada gaya militeristis di Taman
Siswa, sekolah yang didirikannya.
Athena di
masa Yunani kuno pernah jadi kota yang militeristis. Penduduk kota lazim belaka
menyaksikan para serdadu lalu-lalang sambil baris berbaris atau berkeliaran
menenteng senjata. Tapi lambat laun pemandangan macam itu surut.
Dalam
bukunya yang termasyhur yang ditulis pada abad ke-5 SM, History of the
Peloponnesian War, sejarawan Yunani kuno Thucydides memaparkan perubahan
besar-besaran dalam struktur dan tatanan sosial di Yunani, khususnya Athena.
Perubahan ini terjadi akibat bergesernya orientasi pendidikan.
Penguasa dan
kaum intelektual mengubah corak pendidikan yang tadinya bersifat militeristis
ke gaya yang lebih sipil. Setelah itu pendidikan di Athena pun menjadi berwajah
santun dan ramah.
Menurut
Peneliti dan Konsultan Pendidikan Doni Koesoema A. dalam Pendidikan Karakter:
Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (2007: 24), pendidikan karakter di
Athena abad ke-6 SM menawarkan kurikulum integral yang mencakup pengembangan
fisik dan pelatihan kesenian. Pendidikan musik Protagora disebut berhasil
mengubah karakter masyarakat Athena menjadi lebih harmonis dan cinta damai.
Kaum militer tak lagi mendominasi seisi kota.
Pendidikan
karakter macam itu tampaknya juga menjadi bagian misi pendidikan Soewardi
Soerjaningrat. Saat mencetuskan National Onderwijs Instituut Tamansiswa pada
1922, Soewardi, yang kemudian beralih nama jadi Ki Hadjar Dewantara, dikenal
sebagai sosok yang meyakini bahwa kesenian dan kebudayaan adalah bagian paling
mendasar dari pendidikan karakter siswa.
Taman Siswa dan Karakter Nasional
Pada 22 Juli
1922 Taman Siswa diresmikan di Jl. Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Bagunannya
berupa rumah besar berbentuk pendopo. Di dalamnya sudah terisi bangku-bangku
sekolah yang berasal dari sumbangan Soerjopranoto, kakak tertua Ki Hadjar
Dewantara, yang sebelumnya sudah lebih dahulu mendirikan sekolah Adhi Darmo.
“Saat itu
aku benar-benar menaruh harapan besar, agar dari rumah tersebut memancar cahaya
yang akan menerangi jagad Nusantara dengan ilmu pengetahuan,” kata Ki Hadjar seperti
dikisahkan Haidar Musyafa dalam Ki Hadjar: Sebuah Memoar (2017: 346).
Lebih jauh,
Ki Hadjar menuturkan fungsi Taman Siswa sebagai sarana pembentukan karakter
bumiputra. Tekadnya itu timbul sebagai keprihatinan terhadap kondisi pendidikan
ala kolonial yang sekadar ditujukan untuk mendapatkan ijazah dan menghasilkan
kaum pekerja.
“Sehingga
mereka akan menjadi generasi yang beradab, berkarakter. Selain itu, juga
memiliki semangat untuk berjuang dan tekad yang besar untuk membebaskan tanah
airnya dari cengkraman bangsa penjajah,” lanjut Ki Hadjar.
Sebagaimana
dituturkan Ki Hadjar, dasar pemikiran di balik pembangunan Taman Siswa memang
bertujuan membentuk karakter siswa yang berasas nasionalisme. Maka tidak heran
bahwa sedari awal pembangunannya, Taman Siswa sudah menyatakan diri sebagai
Lembaga Pengajaran Nasional.
Dalam
pelaksanaan kegiatan ajar, Taman Siswa menyelenggarakan sistem pendidikan yang
dapat membentuk karakter siswa berlandaskan budaya bangsa. Salah satu tujuannya
adalah mempercepat kemerdekaan yang sejak lama dicita-citakan kaum nasionalis.
“Jika sebuah
bangsa ingin tumbuh menjadi bangsa yang sehat secara lahir dan batin, maka
sistem pendidikan dan pengajaran yang diberikan kepada rakyat harus didasarkan
pada prinsip nasional, kultur dan budaya yang ada pada masyarakatnya sendiri,”
tulis Musyafa.
Konsekuensi
dari komitmen tersebut ialah pemakaian lingua franca sebagai bahasa
pengantar pada setiap jam pelajaran di Taman Siswa. Kebetulan, saat sekolah
pelopor Taman Siswa di Yogyakarta didirikan, istilah bahasa Indonesia belum
terlalu dikenal. Karena itu dalam pelaksanaan kegiatan ajar Ki Hadjar memilih
memakai bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar ketimbang bahasa Belanda atau
Jawa.
Membentuk
karakter bangsa lewat bahasa Melayu memang sudah menjadi rencana Ki Hadjar
Dewantara sepulang dari masa pengasingannya di Belanda pada 1919. Bahkan,
menurut Kees Groeneboer dalam jurnal Wacana, Vol. 1, No. 1 (1999: 43),
pembelaan Ki Hadjar terhadap bahasa Melayu sudah ditunjukkan selang tiga tahun
sejak tulisannya yang berjudul “Seandainya Aku Seorang Belanda” terbit pada
1913
Pendidikan Karakter Melalui Seni dan Permainan
Dilihat
sekilas, pendidikan Taman Siswa tampak mirip dengan pendidikan di Athena abad
ke-5 SM. Selain bahasa, Taman Siswa juga mengajarkan ilmu agama, kisah-kisah
kepahlawanan, sejarah kebudayaan, dan kesenian.
Berdasarkan
catatan Darsiti Soeratman dalam memoar Ki Hadjar Dewantara (1981: 96-97),
pendidikan karakter di Taman Siswa dititikberatkan pada bidang kesenian.
Pendidikan kesenian dipercaya dapat memperhalus budi anak. Maka setidaknya
seminggu sekali anak-anak didorong untuk berlatih kesenian, salah satunya seni
tari.
Setiap hari
Rabu, anak-anak berkumpul di sebuah pendopo di dalam area sekolah untuk
berlatih tari. Kegiatan ini biasanya disaksikan langsung oleh para pangeran
sekaligus tokoh kesenian Keraton Yogyakarta, di antaranya Pangeran
Suryadiningrat dan Pangeran Tejakusuma. Mereka jugalah yang membantu Taman
Siswa memperbaiki sistem pendidikan karakter siswa melalui kesenian.
Di samping seni
tari, Ki Hadjar menerapkan metode pembentukan karakter melalui tembang (lagu)
dan dolanan (permainan) asli daerah. Tidak sedikit tembang dan dolanan yang
diajarkan di sekolah Taman Siswa. Beberapa di antaranya bahkan digali dan
dikembangkan sendiri oleh para pamong.
Dolanan
Taman Siswa kemudian dikenal sebagai sistem pengajaran yang khas. Tidak sedikit
guru-guru dari sekolah lain yang menyambangi Taman Siswa hanya agar dapat
mempelajari permainan anak-anak langsung dari para pamong.
Kembali
mengutip Soeratman, khusus untuk pendidikan kesusilaan anak-anak puteri, Ki
Hadjar mewariskan syair berbahasa Jawa berbentuk tembang Asmarandana. Isinya
berupa nasihat-nasihat yang dapat dikidungkan sehingga mudah diingat oleh
anak-anak perempuan (hlm. 126).
Taman Siswa
lantas berkembang menjadi lahan subur bagi perkembangan bakat kesenian. Alumni
Taman Siswa Jakarta, misalnya, banyak yang menjadi seniman-seniman kritis pada
periode kemerdekaan. Di antara mereka terdapat nama-nama besar seperti Misbach
Yusa Biran, S.M. Ardan, dan Chairil Anwar.
Diambil dari (tirto.id-sosial budaya)
0 komentar:
Posting Komentar