![]() |
Sumber gambar: hellosehat.com |
Pada malam itu para
sahabat berbaris rapi di belakang Nabi Muhammad Saw. masuk di antaranya adalah
Umar bin Khattab. Tapi, ada yang tidak biasa pada salat isya berjamaah itu,
terdengar suara gesekan tulang sendi yang terdengar sangat memilukan; krek,
krek, krek saat rukuk dan sujud dari arah depan, arah imam, arah
Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Selesai salat para sahabat saling pandang, dari
tatapan matanya seolah mereka punya firasat yang sama; Nabi sedang sakit. Maka,
selesai salat mereka bergerombol mengelilingi Nabi. Umar waktu itu memberanikan
diri bertanya pada beliau;
Wahai Nabi, “Apakah engkau sedang
sakit?”
“Tidak,” Jawab Nabi.
Sekali lagi Umar bertanya, “Wahai Nabi
apakah engkau sedang sakit?”
“Tidak,” Tukas Nabi.
“Tapi, wahai Rasulullah,” Umar
melanjutkan, “Saat salat tadi kami mendengar ada bunyi sendi yang saling
bergesekan dari badanmu.”
“Tidak, aku tidak sedang sakit”, Nabi
meyakinkan.
Para sahabat, termasuk
Umar terus memastikan Nabi dalam keadaan sehat dengan bertanya kondisi beliau,
tetapi jawaban Nabi tetaplah sama; tidak, beliau tidak sakit. Para sahabat juga
penasaran, mereka terus bertanya pada Nabi, untuk memastikan apakah beliau
sedang sakit atau tidak, karena telinga mereka telah menjadi saksi atas
suara gemeratak tulang ketika Nabi menggerakkan badan saat
salat tadi. Mereka khawatir sekali terjadi sesuatu pada Nabi, pada Rasulullah
yang mereka cintai.
Terdesak oleh pertanyaan sahabat yang
tak berkesudahan itu, akhirnya dalam keadaan yang sangat terpaksa Nabi mau
“mengaku” dengan membuka bajunya. Perlahan Nabi membuka kain yang membalut
perutnya. Dan para sahabat melihat ada batu-batu kecil dalam kain itu. Umar pun
sontak bertanya:
“Wahai Nabi, untuk apakah engkau
membalut perutmu dengan batu?”
“Aku lapar, dan aku tak memiliki apa pun
untuk dimakan.”
Dengan suara bergetar karena sedih, Umar
berkata, “Wahai Rasulullah, sehina itukah engkau memandang kami? Apakah engkau
mengira jika engkau berkata lapar, kami tidak akan memberikan makanan yang
paling lezat, wahai Rasulullah.” Umar kembali merendahkan suaranya, “Kami semua
ya Rasullah, sahabatmu ini, hidup dalam kemakmuran.”
“Tidak Umar” Nabi menjawab pertanyaan
Umar yang beruntun itu, “Karena aku tahu bahwa kalian tidak hanya akan
memberikan makanan lezat padaku, tapi juga harta, bahkan nyawa kalian untukku
sebagai rasa cinta. Tapi Umar, bagaimanakah nantinya aku akan menghadap Tuhan
dan menyembunyikan rasa malu, jika sebagai pemimpin aku hanya menjadi beban
pada orang yang aku pimpin.”
Mendengar jawaban Nabi tersebut, Umar
dan para sahabat terdiam, segala macam kecintaan yang diberikan pada junjungan
Nabi Muhammad memang sudah selayaknya, dan itulah mengapa risalah yang ia bawa
bisa sampai pada kita hingga saat ini. Akhlaknya yang mulia.
Dengan segala kekuatan yang dimiliki
Nabi, sebagai seorang kepala negara, panglima tertinggi, pemegang otoritas
agama, jika ingin memenuhi perutnya dengan makanan lezat, Nabi Muhammad hanya
cukup berucap satu kata, apa yang diinginkan pasti akan tersedia. Namun tidak,
Nabi Muhammad tidak melakukan itu. Nabi Muhammad sedang mengajarkan kita cara
untuk berpuasa, imsak, menahan “nafsu” diri. Nabi yang agung itu mengajarkan
cara menahan diri untuk tidak menyalahgunakan sedikit pun dari kekuasaan yang
dimilikinya hanya untuk kepentingan dirinya. Nabi mengajarkan tentang bagaimana
berpuasa yang indah, yaitu menahan diri untuk tidak memanfaatkan apa yang
menjadi amanah hanya untuk kelangsungan hidupnya.
Salam bagimu Wahai Rasulullah. Kami
telah melewati bulan Ramadhan ini untuk kesekian kalinya, namun Wahai
Rasulullah, kami masih juga tertatih-tatih untuk bisa mencintai dengan
sungguh-sungguh meneladani akhlakmu
Dikutip
dari afkaruna.id
0 komentar:
Posting Komentar