![]() |
Sumber gambar: ekonomi.kompas.com |
Melihat kehancuran alam dan perilaku manusia yang
semakin nyata, semakin sah kita mengajukan sebuah pertanyaan tentang masa depan
manusia. Kemana ras manusia ini akan menuju dan bagaimana nasib mereka di
tengah kerusakan yang menyelimuti mereka baik pada tingkat ekologis dan juga
moral? Memang ada baiknya kita tetap optimistik bahwa ras manusia akan
baik-baik saja, tapi kita juga memiliki alasan yang cukup untuk resah melihat
geliat masa depan manusia yang semakin suram.
Optimisme muncul karena kita yakin manusia akan
mengambil tindakan untuk menyelaraskan hidupnya baik dengan dirinya sendiri
maupun dengan lingkungannya. Keadaan yang menekan akan memaksa manusia untuk
memperbaiki diri guna menyelamatkan dirinya. Namun, pada saat yang sama,
manusia memiliki potensi untuk bersikap amoral karena seringkali tidak mampu
menghadapi tekanan hidup yang dialaminya. Pada tatanan sosial, sering kekuatan
jahat lebih dominan daripada kekuatan baik. Karena alasan inilah Khalifah Umar
ibn Khattab pernah mengadu kepada Tuhan seraya mengatakan “Ya Allah, aku
mengadu kepada-Mu karena kekuatan para pendosa, dan ketidakberdayaan orang yang
dapat dipercaya.” (Ibn Taimiyyah 1995, 18).
Hampir tidak ada jaminan dalam sejarah kehidupan
manusia bahwa kebenaran, keadilan, keselarasan akan menang atas kejahatan,
kezaliman, dan ketimpangan. Kadang terjadi sebaliknya, kejujuran dicemooh demi
melanggengkan kebohongan; kepentingan publik dikerdilkan demi kepentingan
individu. Sebaiknya kita melakukan upaya interpretatif dalam rangka memahami
gejala kemanusiaan sekaligus mencarikan suatu tawaran solusi bagi persoalan
inti yang dihadapi manusia saat ini.
Manusia tidak bisa lepas dari ketergantungan pada
alam. Manusia dapat berkembang dan maju karena alam. Seperti halnya makhluk
hidup lainnya, manusia merupakan bagian integral dari alam tempat ia hidup.
Melalui alam, manusia dapat mengenal Tuhan, karena alam merupakan tanda-tanda
konkret atas kebesaran-Nya. Oleh karena itu, alam bukanlah tanpa makna dan
tujuan. Ia ada dan diciptakan untuk membantu manusia menemukan dirinya dan
mencapai jalan yang ingin ditujunya. Secara teologis, alam sebagai penyedia
yang arif bagi kebutuhan manusia dan seluruh makhluk hidup. Namun, kearifan
alam terhadap manusia itu justru dibalas oleh manusia dengan keburukan. Manusia
mengeksploitasi alam secara egois tanpa batas, padahal alam memiliki aturan
main yang harus dihormati.
Satu hal yang mendorong manusia untuk bersifat
eksploitatif—di samping ketamakannya—adalah kebebasannya. Kebebasan ini
membukakan jalan untuk melakukan apa saja guna mencapai tujuan yang diinginkan.
Dalam diri manusia ada kehendak bersifat motivasional yang mendasari
tindakannya. Kehendak itu bisa saja dipengaruhi oleh agama, politik, atau budaya,
sehingga sebuah kehendak dapat kita sebut sebagai kehendak agamis, politis,
atau budaya. Sebuah konsekuensi dari kehendak yang dipengaruhi oleh agama akan
berbeda dengan konsekuensi kehendak yang dipengaruhi oleh politik atau budaya.
Sebuah kehendak yang didorong oleh ajaran agama akan berbeda-beda pula
konsekuensinya. Islam menghasilkan konsekuensi yang berbeda dari Kristen.
Struktur sebuah masyarakat berikut norma dan kebiasaan manusia yang terbangun
atas dasar ajaran Islam akan berbeda dengan struktur masyarakat yang dibangun
atas dasar ajaran Kristen. Seperti materialisme telah memunculkan orang yang
materialistis sehingga dalam kehidupan sehari-hari mereka hanya melihat
kepentingan pribadi dan pertimbangan untung-rugi belaka.
Manusia juga makhluk yang independen yang tidak bisa
dipengaruhi oleh apa pun termasuk agama, politik, dan budaya. Dalam konteks
ini, kita dapat mengatakan bahwa apa yang terjadi dalam kehidupan manusia
sehari-hari adalah murni hasil dari kebebasan manusia sebagai manusia. Ini ada
benarnya jika kita melihat manusia sebagai makhluk rasional yang memiliki
kesadaran dalam bertindak. Sebagai manusia, kita selalu sadar dalam menentukan
tindakan kita, sehingga apa pun yang kita lakukan bisa saja tidak ada sangkut
pautnya dengan ajaran agama tertentu atau dengan dogma politik, budaya, atau
aliran pemikiran.
Kedua pendapat ini akan memengaruhi pandangan kita
tentang pola sejarah manusia. Pendapat pertama mengatakan bahwa sejarah
manusia bersifat deterministik, yaitu ditentukan oleh kekuatan lain dari luar
manusia seperti agama, politik dan budaya. Pendapat kedua meyakini
pola dan nasib sejarah amat tergantung pada sikap dan perilaku manusia sebagai
makhluk yang independen.
Yang pertama meyakini manusia tidak mampu untuk
menentukan nasib dan membuat aturan mainnya sendiri dalam kehidupannya. Kendati
manusia memiliki kebebasan, ia tidak selalu mampu untuk mengupayakan yang
terbaik bagi dirinya. Determinisme mutlak memang tidak bisa diterima
karena manusia harus diakui independensinya. Dan independensi mutlak pun
tidak berlaku bagi manusia sebab banyak hal di dunia ini yang manusia tidak memiliki
otoritas apa pun. Seperti kelahiran, kematian, dan perkawinan merupakan wilayah
yang manusia tidak memiliki campur tangan di dalamnya, manusia takluk pada
kehendak Tuhan yang Mahakuasa. Untuk itulah, independensi manusia harus
dibatasi karena tidak dapat menerobos semua wilayah yang ada di dalam
kehidupannya.
Pada sisi lain, manusia juga harus diberi kebebasan
untuk memelihara dan memperjuangkan nasibnya sendiri secara independen.
Setiap manusia memiliki tujuan hidup sendiri-sendiri yang tidak bisa dibatasi
atau diatur oleh apa pun termasuk agama. Apalagi tujuan hidup itu terkait
dengan kebutuhan yang paling mendasar, yaitu keinginan untuk bertahan hidup.
Namun, sekali lagi, kebebasan manusia harus ada koridor dan batas. Jika setiap
individu dibiarkan untuk bersikap secara independen, maka yang akan terjadi
adalah kekacauan. Setiap manusia akan mengejar keinginannya dengan caranya
sendiri yang bisa saja berlawanan dengan cara orang lain bahkan dengan norma
sosial dan agama. Akan terjadi penabrakan norma yang sudah ada dan penjebolan
tanggul pengaman “social cement” lalu melubernya lumpur kekacauan ke
dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Manusia adalah makhluk agresif yang memiliki keinginan
untuk maju melalui persaingan yang ketat. Jika persaingan itu tidak diatur,
maka akibatnya sudah dapat diprediksi. Tidak seperti binatang yang
berperilaku atas dasar naluri, manusia bertindak atas dasar keinginan.
Keinginan itu kadangkala bersifat liar dan tidak terkontrol yang karenanya
seseorang dapat bersikap destruktif. Acap kali maksud dan tujuan perbuatan kita
lebih ditentukan oleh energi negatif yang ada dalam diri kita ketimbang oleh
kalkulasi rasional. Permasalahannya menjadi lebih rumit ketika dalam menentukan
perbuatannya manusia tidak lagi peduli pada hukum alam, sosial, dan agama.
Padahal manusia diciptakan dan dibesarkan oleh alam dan serangkaian norma yang
mengelilinginya. Manusia hendaknya tunduk pada serangkaian norma, lebih-lebih
kepada aturan agama yang mengikatnya.
Sepanjang sejarah, tidak pernah ada bukti manusia
dapat hidup secara mandiri. Ia membutuhkan Sang Khaliq. Manusia tidak bisa
hidup dan memiliki masa depan tanpa aturan Tuhan yang diramu dalam Syariat.
Kita memiliki alasan yang cukup untuk tetap optimis dengan masa depan manusia
karena ada agama yang melandasi dan mengatur kehidupannya. Tanpa agama, hidup
adalah kekacauan. Agama apa yang harus dianut oleh manusia untuk menuju kepada
keselamatan bukanlah permasalahan yang ingin kita bahas di sini. Kita lebih
tertarik pada sebuah kenyataan bahwa agama dengan sistem metafisika yang
dimilikinya megandung kekuatan transendental yang dapat memengaruhi nasib dan
arah hidup manusia.
Tuhan telah membuat peta kehidupan bagi segenap umat
manusia. Tugas manusia adalah mengikuti peta tersebut dan menelusuri perjalanan
hidupnya sesuai dengan rambu-rambu di dalamnya. Pandangan ini memang terkesan
deterministik. Tapi sebetulnya tidak. Kita yakin bahwa kehidupan adalah
serangkaian norma. Kehidupan bukan wujud dan realitas yang kosong akan norma.
Berbeda dengan kaum empirik seperti David Hume yang meyakini bahwa dunia ini
adalah murni fakta dan tidak ada wujud yang hakiki di luar fakta, tetapi kita
meyakini bahwa di atas fakta ada norma. Kaum empirik membatasi cara pandang
pada ranah fakta saja sehingga perspektif mereka terhalang untuk melihat dunia
fakta sebagai medium menuju dunia norma. Padahal esensi dari fakta adalah
norma. Konklusi faktual muncul karena seseorang melihat suatu benda hanya
sebatas sebagai fakta empirik yang memberikan data atau statistik, sehingga
yang didapatkan hanyalah data. Norma yang semestinya bisa diambil dari sebuah
fakta menjadi tersembunyi. Contoh pandangan faktual, seperti kita melihat
mahasiswa, yang akan kita cari dari dia adalah data yang relevan dengan
statusnya sebagai mahasiswa. Seperti daerah asal, umur, kampus, jurusan,
prestasi kuliah, dan seterusnya. Pandangan faktual berhenti di sini dan tidak
mengembangkan observasinya.
Sementara itu, pandangan normatif akan melangkah lebih
jauh. Umpama, jika mahasiswa berprestasi, maka pendekatan normatif dapat
memunculkan suatu konklusi yang baik karena prestasi dapat—misalnya—membuka
peluang lebih besar bagi yang bersangkutan untuk mendapat pekerjaan.
Statemen “prestasi adalah sesuatu yang baik” adalah konklusi normatif.
Kata “baik” mengandung arti norma. Konklusi normatif ini sekali lagi
tidak bisa didapat dengan pendekatan empirik, dan hanya bisa dilakukan melalui
pendekatan normatif. “Pendekatan empirik” kata David Hume “tidak dapat
menghasilkan konklusi normatif”.
Lebih dari itu, karena pendekatan empirik tidak pernah
berhasil mengambil kesimpulan normatif, maka pilar norma pun tidak pernah
mendapatkan tempat. Yang saya maksud dengan pilar norma adalah agama. Dalam
mazhab empirisme, agama tidak diakui keabsahannya. Bukan hanya itu, Tuhan yang
merupakan pewahyu agama juga tidak diakui keberadaannya karena Ia tidak dapat
diindera. Yang diakui keberadaan dan keabsahannya adalah benda dan dunia fakta.
Untuk itulah, mazhab empirisme yang mewakili jumlah besar ahli filsafat di
Barat dan kalangan awam di sana, tidak menerima pandangan normatif tentang
wujud lebih-lebih pandangan normatif yang meyakini adanya realitas di balik
realitas empirik.
Pandangan empirik tentang wujud ini berimplikasi
panjang. Di antaranya adalah anggapan hidup ini bermula dan berakhir pada benda
saja. Atau dalam ungkapan lain, karena benda merupakan realitas satu-satunya
yang hakiki, maka makna dan tujuan hidup ada pada benda itu sendiri. Perlu
dicatat bahwa kaum empirisme memasukkan manusia dalam kategori benda. Empirisme
memandang makna dan tujuan hidup ada pada manusia, bukan pada entitas
lain. Untuk itu, manusia berhak untuk menentukan tujuan hidupnya sendiri
sekaligus membuat serangkaian aturan yang dapat mewujudkan tujuan hidupnya.
Sikap ini merupakan pemberontakan terhadap agama dan Sang Pencipta yang
menurunkannya.
Pandangan ini tidak dapat dipisahkan dari pengaruh
filsafat Emmanuel Kant. Kant menegaskan bahwa manusia adalah sumber norma
dan aturan kehidupan. Dengan tegas ia mendorong dan mengeluarkan
imperatif kepada sesamanya untuk “bertindak sedemikian rupa sehingga engkau
dapat menghendaki agar patokannya menjadi hukum umum”. Ungkapan ini bermakna,
manusia adalah standar satu-satunya bagi norma dan pengadaan hukum umum.
Di luar kehendak manusia tidak ada hukum dan norma, dan—jika ada—maka itu tidak
dapat diterima. Setiap individu memiliki otoritas untuk berkehendak dan membuat
hukum umum. Menurut Kant, manusia sebagai individu benar-benar menjadi patokan
dan sumber hukum.
Pada saat yang sama, imperatif itu merupakan penolakan
kepada agama atau budaya sebagai sumber norma dan hukum, juga kepada manusia
secara kolektif yang—dalam sistem politik—tercermin dalam bentuk negara. Ini
kesalahan yang dilakukan Kant. Ia tidak sadar ketika individu menjadi sumber
hukum maka yang akan terjadi adalah kekacauan sosial. Kehendak individu pasti
berbeda-beda. Dan jika setiap individu menghendaki agar tindakannya menjadi
standar hukum umum, maka itu akan mengakibatkan adanya benturan dan konflik.
Konflik horisontal akan mudah terjadi jika setiap individu dalam sebuah
masyarakat menghendaki dan memaksa agar tindakannya-lah yang harus diakui
sebagai patokan.
Pada tingkatan yang paling sederhana, pandangan Kant
itu bertentangan dengan konsep demokrasi dan pluralisme. Pandangan Kant
egoistik dan tertutup, yang tidak mengakui adanya karakter kehidupan manusia
yang serba plural. Pluralisme berarti mengakui adanya keberagaman. Agama Islam
mengakui keberagaman dengan tegas dan menganggapnya sebagai salah satu bukti
kebesaran Tuhan. Karena itu melebihi filsafat Barat, Islam sebagai tatanan
lebih siap menghadapi tantangan zaman dan menjadi sistem sosial yang dapat
menampung berbagai unsur dalam masyarakat. Jika Islam dimaknai secara
diskriminatif, maka itu adalah kesalahan sejarah yang tidak dapat diampuni.
Dalam ungkapan Ernest Gellner, “Islam adalah cetak biru tatanan sosial”
Written by Abdul Kadir Riyadi, Ph.D
0 komentar:
Posting Komentar