![]() |
Sumber gambar: eramuslim.com |
Krisis multidimensi yang dialami
bangsa ini semenjak tahun 1997 yang hingga kini belum mampu diatasi sepenuhnya
oleh negara, membuat kepekaan sosial, politik dan ekonomi kian tumbuh dalam
masyarakat Islam, apalagi seiring dengan terbukanya katup demokratisasi setelah
rezim Orde Baru terjungkal dari kekuasaannya. Kepekaan yang kian tumbuh itu
lalu terejawantah dalam bentuk gagasan dan pemikiran, ekspresi, serta tindakan,
yang diwakili baik oleh individu maupun gerakan masif. Dalam dataran yang lebih
progresif, keterwakilan masyarakat Muslim dalam merespon persoalan-persoalan
sosial, politik dan ekonomi akibat dari krisis multidimensi, direpresentasi
oleh para aktivis gerakan yang ada di Indonesia, seperti NU, Muhammadiyah,
Persis, SI, al-Wasliyah, DDII, LDII, MMI, FPI, HTI, Tarbiyah, dan Jamaah
Tabligh.
Pada intinya, respon yang dilakukan
aktivis Islam merupakan sebentuk kritik terhadap ketidakberdayaan negara dalam
mengelola tata kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang baik. Sebagai
akibatnya, bahkan beberapa dari aktivis Islam, mencoba menawarkan gagasan yang
sama sekali baru dari apa yang selama ini dipikirkan oleh negara, yaitu sebentuk
solusi yang secara menyeluruh harus berangkat dari paradigma Islam an sich,
yang lazimnya berangkat dari dua sumber Islam, yaitu alQur’an dan sunnah.
Namun, ada pula dari aktivis Islam yang lebih toleran dan fleksibel dengan
gagasan yang selama ini dipikirkan oleh negara alam dataran itu, respon yang
dilakukan aktivis tipikal ini, hanyalah sebatas kritik dan saran yang
membangun, namun tidak keluar dari mainstream pemikiran dan paradigma negara
kesatuan Republik Indonesia.
Adapun mereka aktivis Islam yang
responnya lebih reaksioner terhadap negara, lazimnya muncul dari organisasi
keagamaan yang boleh dikatakan baru, atau paling tidak ormas yang muncul paska
rezim Soeharto lengser dari kekuasaan presiden bulan Mei tahun 1998, seperti
MMI, HTI, FPI dan Gerakan Tarbiyah. Sedangkan, ada pula aktivis Islam yang
kecenderungannya hampir tidak jauh berbeda dengan model yang pertama, hanya
saja aktivis tipikal ini lahir dari ormas Islam yang sudah cukup mapan, seperti
DDII, LDII, Persis, SI, al-Wasliyah dan Jamaah Tabligh. Sementara, mereka
aktivis Islam yang lebih toleran dan fleksibel, lazimnya muncul dari ormas
Islam yang sudah cukup mapan, yang tradisi serta budayanya sudah sedemikian
menyatu dalam kehidupan masyarakat Islam pada umumnya seperti NU dan Muhammadiyah.
Maka sudah dapat diketahui bahwa betapa respon aktivis Islam terhadap persoalan
sosial, politik dan ekonomi, sangat memiliki kekhasan tersendiri, dalam
pengertian, terdapat perbedaan di antara sekian aktivis gerakan Islam baik
dalam mewacanakan pendapat serta gagasannya, maupun ekpresi politiknya ketika
hendak mengaspirasikannya di hadapan negara.
Dalam konteks ini, sebenarnya masih
selaras dengan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya, misalnya oleh Ahmad
Baso ketika membahas perihal diskursus civil society. Ada yang
berpendapat bahwa genealogi masyarakat sipil lahir dari sebentuk pemikiran
sekuler dari Barat, sementara jika masyarakat Islam ingin mengadopsinya maka
harus menyesuaikan dengan tradisi dan kebudayaan Islam. Namun ada pula yang
berpendapat bahwa genealogi masyarakat sipil sebenarnya sudah ada dalam sejarah
peradaban Islam. Jika ingin mengadopsinya maka masyarakat Islam tinggal
mengkontekstualisasikannya saja dalam kehidupan mereka yang sebenarnya.
Perbedaan pandangan, gagasan, ekpresi
maupun tindakan ketika aktivis Islam merespon persoalan sosial, politik dan
ekonomi kontemporer, lebih dikarenakan semenjak dulu peta gerakan Islam atau
masyarakat Islam di Indonesia sangat beragam dan multikultural. Itulah banyak
peneliti mengatakan bahwa Islam Indonesia sangat warna-warni atau tidak
tunggal. Maka kategorisasi serta klasifikasi terhadap gagasan, pemikiran,
ekpresi serta tindakan dari aktivis Islam menyangkut persoalan sosial, politik
dan ekonomi kontemporer perlu untuk dilakukan sehingga pemetaan gagasan,
pemikiran, ekpresi dan tindakan dari mereka aktivis Islam bisa diakomodasi ke
dalam frame pemikiran yang lebih terintegrasikan dan sustainable. Sehingga dari
sekian perbedaan itu bukan malah tampak terfragmentasi, melainkan sebentuk integrasi
pemikiran yang bisa memberi kontribusi serta solusi terhadap
persoalan-persoalan kenegaraan.
Pembahasan lebih mendalam bisa
mendownload pdf pada link di bawah ini
0 komentar:
Posting Komentar