![]() |
Sumber gambar: harakahislamiyah.com |
Ramadan
datang, hadis palsu bertebaran. Kurang lebih seperti itulah slogan yang pas
untuk menggambarkan keadaan umat muslim saat menghadapi Ramadan. Banyak amalan
yang dikerjakan demi memperoleh balasan-balasan berlipat namun ternyata telah
jatuh dalam lubang fatal karena ber-istidlal dengan hadis palsu.
Ramadan
memang menjadi ladang luas untuk menyemai kebaikan. Kebaikan-kebaikan yang
dikerjakan di bulan Ramadan akan dilipatgandakan oleh Allah SWT. Oleh sebab
itulah Rasulullah SAW kerap menganjurkan para sahabatnya untuk meningkatkan
amalan kebaikan di bulan Ramadan. Terlebih, ketika masuk sepuluh hari terakhir.
Rasulullah
SAW bahkan mengencangkan sabuk sarungnya agar dapat kokoh berdiri dalam
kekhusyukan shalat dan pengerjaan ibadah lainnya.
Dari
Aisyah yang berkata,
كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ
مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Nabi
saw. bila memasuki sepuluh akhir (dari bulan Ramadan), Beliau mengencangkan
sarung beliau, menghidupkan malamnya dengan beribadah dan membangunkan keluarga
beliau”.
Yang
menarik untuk dibahas adalah jikalau Ramadan memang ladang kebaikan untuk
beribadah, lantas apakah dengan demikian tidur orang yang berpuasa di bulan
Ramadan juga dapat dikatakan beribadah?
Nampaknya
kebanyakan masyarakat masih menganggap bahwa dengan hanya tidur saja, seorang
yang berpuasa di siang Ramadan seperti telah melaksanakan suatu ibadah. Ibadah
sendiri artinya adalah bersikap patuh dengan benar-benar menundukkan hati
terhadap apa-apa yang datang dari Rasulullah SAW berupa perbuatan menaati
perintah atau menjauhi larangan.
Pada
prinsipnya, dalam ibadah, semuanya batal, sehingga ada dalil yang
memerintahkannya. Oleh karenanya, apa dalil yang dapat dipahami untuk
menunjukkan tidurnya orang puasa adalah bagian dari ibadah? Dalam hal ini, ada
sebuah hadis yang sering didengungkan pada saat Ramadan datang yaitu:
نَوْمُ
الْصَّائِمِ عِبَادَةٌ وَصَمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَدُعَاؤُهُ
مُسْتَجَابٌ وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ
“Tidurnya
orang yang berpuasa itu ibadah, diamnya adalah tasbih, amalnya dilipatgandakan
(pahalanya), doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni.”
Hadis
tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya Syu’ab al-Iman,
yang kemudian oleh Imam al-Suyuti dinukil ke dalam kitabnya al-Jami
al-Shaghir dengan berkomentar dhaif (lemah) untuk standar kualitas
hadisnya. Imam al-Baihaqi sendiri pun telah terlebih dahulu mengomentari hadis
ini dengan kedhaifan salah satu rawi (periwayat) nya yaitu Ma’ruf bin Hisan,
bahkan di dalam sanad (rantai periwayat) hadis ini terdapat nama Sulaiman bin
Amr al-Nakha’i yang kualitasnya lebih dhaif dari pada Ma’ruf.
Menurut
Imam al-Iraqi salah seorang kritikus hadis seperti yang dinukilkan oleh
Muhammad bin Ismail as-San’ani dalam kitabnya at-Tanwir Syarh al-Jami al-Shaghir
beliau menyatakan bahwa Sulaiman bin Amr al Nakha’i merupakan salah seorang
pendusta. Tidak hanya imam al-Iraqi yang menyatakan kritik kepada Sulaiman bin
Amr al Nakha’i bahwa ia seorang pendusta atau pemalsu hadis, para ulama
kritikus hadis ternama seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Imam
Ibnu Adiy, Imam Ibnu Hibban dan Imam al-Hakim juga berpendapat serupa yaitu
menyatakan bahwa Sulaiman bin Amr al Nakha’i adalah seorang pemalsu hadis.
Imam
al-Bukhari juga telah memberikan kritikannya terhadap Sulaiman bahwa hadisnya matruk
(semi palsu lantaran pendusta). Sedangkan Yazid bin Harun menyatakan, “Siapa
pun tidaklah halal untuk meriwayatkan hadis dari Sulaiman bin Amr”.
Dalam
disiplin ilmu hadis, jika dalam suatu hadis terdapat periwayat yang pendusta
maka hadis tersebut dinamakan hadis maudhu’ atau hadis palsu, tidak bersumber
dari Rasulullah SAW. Berdalil untuk sebuah amalan dengan menggunakan hadis
palsu adalah hal yang dilarang sebagaimana dilarangnya meriwayatkan hadis palsu
tanpa menjelaskan kepalsuan hadisnya.
Maka
kesimpulannya adalah tidurnya orang berpuasa bukanlah merupakan suatu ibadah.
Meskipun demikian, orang yang siang hari puasanya hanya dipakai untuk tidur
masih tetap mendapatkan pahala, namun pahala yang didapat bukan karena tidurnya,
namun karena puasanya. Alangkah lebih baik jika kita mengganti kebiasaan tidur
saat puasa dengan amalan-amalan lain seperti berdoa, membaca Al-Qur’an,
berdzikir dan lain sebagainya. Wallahua’lam.
Sumber:
harakahislamiyah.com
0 komentar:
Posting Komentar