![]() |
Sumber Gambar: kiblat.net |
Apakah kita harus mendengarkan Farag
Fouda? Lahir pada 1945, ia adalah doktor di bidang ekonomi pertanian. Ia juga
pernah berafiliasi dengan partai politik, seperti Partai Wafd dan Partai
Istiqlal. Tetapi, ia lebih dikenal sebagai pemikir, penggiat hak asasi manusia,
dan komentator sosial. Mestinya, ini semua bukan kegiatan yang berbahaya.
Namun, pada 8 Juni 1992, Farag Fouda (juga sering ditulis Faraj Faudah/Fuda,
termasuk dalam edisi terjemahan Indonesia ini) ditembak mati di Madinat
al-Nasr, Kairo. Seorang anaknya dan beberapa orang lain terluka parah dalam
insiden yang sama. Ia dibunuh dua penyerang bertopeng dari kelompok Jamaah
Islamiyah (Gamaa Islamiyya). Mengapa?
Beberapa hari sebelum dibunuh,
tanggal 3 Juni, sekelompok ulama dari Universitas al-Azhar mengeluarkan
pernyataan bahwa Fouda, berdasarkan pikiran dan tulisannya, telah menghujat
agama dan karenanya keluar dari Islam. Ini berarti, ia adalah musuh Islam dan
halal darahnya. Di sini, labelisasi halal berarti boleh dibunuh. Sebelumnya,
kelompok ulama yang sama menerbitkan daftar nama-nama orang yang memusuhi Islam
dan Fouda berada diurutan pertama. Para pembunuhnya bertolak dari dua dokumen
ini.
Siapakah para pembunuh Fouda? Yaitu
para pemuda yang dangkal pemahaman agamanya serta tingkat kesejahteraan yang
minim. Tentu ada unsur politis yang dilancarkan oleh segelintir orang yang
merasa terusik akan hadirnya Farag Fouda utamanya karyanya.
Maha Karya Fouda yang menggemparkan
dunia itu berjudul Al Haqiqah Al Ghaibah. Karya itu kemudian
diterjemahkan oleh Novri Antoni dengan judul Kebenaran Yang Hilang: Sisi Kelam
Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim. “Karya Fouda ini
secara kritis dan berani mengungkapkan realitas sejarah pada masa Islam klasik.
Sejarah pahit itu bukan hanya sering tak terkatakan dikalangan kaum muslim,
tapi bahkan dipersepsikan secara sangat idealistik dan romantik. Karya ini
dapat menggugah umat Islam untuk melihat fakta sejarah lebih obyektif, guna
mengambil ibrah bagi hari ini dan masa depan”. Tutur Azyumardi Azra dalam
mukaddimah karya Fouda tersebut.
Fouda ialah raja satir dan ironi.
Dalam mengkritik pandangan dan tafsiran kaum Islamis, ia tidak sematamata
mengungkapkan fakta sejarah yang menurutnya telah hilang dari memori mereka. Ia
sering menggunakan fakta tersebut untuk menunjukkan keadaan yang
bertolakbelakang dari yang dipahami lawan debatnya, dan melakukannya dengan
selera humor yang tajam. Yang menarik, seperti tampak di buku ini, fakta-fakta
tersebut dia ambil dari kitab-kitab klasik yang dihormati, yang sebenarnya
tersimpan tak jauh dari jangkauan pihak-pihak yang ia kritik sehingga semakin
menambah bobot ironi.
Tentang pandangan yang menganggap
periode salaf, yakni zaman para sahabat Nabi dan al-Khulafa’ al-Rasyidun,
sebagai zaman keemasan yang dirindukan, Fouda menulis bahwa itu adalah zaman
biasa. Tidak banyak yang gemilang dari masa itu. Malah, ada banyak jejak
memalukan. Tiga dari empat al-Khulafa’ yang katanya al-Rasyidun wafat karena
pembunuhan politik yang terjadi di tengah polarisasi atau perang saudara di
kalangan pengikut-pengikut Nabi yang, menurut riwayat, telah dijamin akan masuk
surga.
Khalifah ketiga dari empat khalifah
al-Rasyidun, Usman bin Affan, tewas dibunuh dan jenazahnya tidak diperlakukan
dengan hormat. Jasadnya baru dapat dimakamkan di hari ketiga setelah ia wafat
sangat tidak lazim bagi umat Islam yang selalu mengantar jenazah ke pemakaman
selekas mungkin. Ketika prosesi pemakaman berlangsung, sebagian Muslim tidak
mau menyembahyangkannya. Bahkan, ada yang melempari, meludahi, dan mematahkan
salah satu persendian mayat Usman. Akhirnya, ia tidak diperkenankan dikuburkan
di pemakaman Muslim, sehingga harus dimakamkan di kuburan Yahudi. Para pembunuh
Usman, sementara itu, bebas berkeliaran. Penggantinya, Ali bin Abi Thalib, tak
kuasa menahan apalagi menghukum mereka.
Pertanyaan kita, tulis Fouda, adalah,
kemarahan apa yang berada di balik perilaku para Sahabat Nabi ini?
Mengapa mereka begitu dendam kesumat
sekalipun hanya terhadap mayat yang tidak berdaya? Mereka seakanakan tidak
mengindahkan kenyataan bahwa Usman termasuk jajaran orang-orang yang pertama
masuk Islam. Mereka juga tidak memperhatikan umurnya yang sudah 83 tahun.
Mereka melupakan bahwa ia adalah suami salah seorang putri Nabi. Mereka bahkan
menolak menyalati dan menguburkannya di pekuburan umat Islam. Usman diposisikan
sebagai orang paling hina dan paling sial di antara umat Islam.
Tentang anggapan mengenai keutamaan
institusi khilafah sebagai unit politik umat Islam, yang melandasi keinginan
menegakkan kembali kekhalifahan, Fouda mengedepankan fakta-fakta yang dilupakan
perspektif romantis terhadap khilafah. Ada banyak khalifah, baik dari sejarah
dinasti Umayah maupun Abbasiyah, yang brengsek, brutal, dan biadab. Pendiri
Dinasti Abbasiyah, yang dijuluki “Si Penjagal,” mengundang 90 anggota keluarga
Umayah makan malam dan menyiksa sebelum membunuh mereka. Kebiasaan para
khalifah yang buruk dan hedonis seperti gemar minum minuman keras, main
perempuan, dan berprilaku seksual menyimpang, adalah beberapa contoh yang
dikemukakan Fouda dari sejarah panjang kekhalifahan.
Karena itu, kita mungkin
bertanya-tanya, dan kita memang berhak bertanya: Mengapa orang-orang yang
menuntut kembalinya khilafah begitu membenci bar, mencela biduan, dan
mengkafir-kafirkan para penarinya? Bukankah itu kelanjutan dari masa lalu dan
bahkan bagian darinya.
Bagi Fouda, khilafah dalam sejarahnya
tak lebih dari sistem kekuasaan totaliter yang berselubung agama. Ia
mempertanyakan label “Islam” khilafah dan berusaha menunjukkan bahwa yang
sering tampak dari sejarah politik Islam justru hal-hal yang berlawanan dengan
Islam. Karena ia memisahkan Islam dari praktik kekuasaan atas nama Islam, maka
praktik khilafah dalam sejarah dapat dikritik, dicela, dan dibahas dengan
menggunakan tolok ukur ilmu politik, demokrasi, dan hak asasi manusia. Fouda
menulis buku yang, menurutnya, ingin dihindari banyak orang.” Soalnya,
“kebanyakan orang hanya ingin mendengarkan apa yang mereka sukai,” katanya di
dalam mukadimah buku.
Fragmen sejarah di atas patut kita
renungkan sebagai generasi sekarang agar tidak mudah bersikap apriori terhadap
fenomena yang berkembang saat ini utamanya isu bangkitnya khilafah, politisasi
agama, dan kesemuan berpikir. Agaknya patut kami lampirkan kepada pembaca link
buku Fouda di bawah ini agar bisa dikaji lebih dalam.
Kebenaran Yang Hilang pdf
0 komentar:
Posting Komentar