Ketika saat
ini para pemerintah dan pegiat literasi sedang semang-semangatnya
mengampanyekan pentingnya literasi, maka ajaran Islam sejak lama sudah
menekankan pentingnya literasi. Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW adalah surat Al-Alaq ayat 1-5 atau dikenal dengan surat Iqra. Ayat
pertama surat tersebut adalah Iqra!
yang artinya bacalah!. Hal tersebut merupakan perintah Allah SWT melalui
perantaraan malaikat jibril kepada Nabi Muhammad SAW untuk membaca atau
belajar dalam arti yang lebih luas.
Pada saat
menerima wahyu tersebut, Nabi Muhammad SAW begitu gemetar karena merasa kaget
terhadap kedatangan malaikat Jibril yang membawa wahyu Allah. Nabi Muhammad SAW
mengatakan “Maa ana biqaarii”yang
artinya Saya tidak dapat membaca. Tetapi dengan bimbingan malaikat Jibril,
akhirnya Nabi Muhammad SAW, yakin bahwa wahyu Allah tersebut memang untuknya,
dan akhirnya Nabi Muhammad SAW dapat membaca. Salah satu sifat wajib bagi Nabi,
yaitu fathanah yang
artinya cerdas menjadi jaminan dari Allah bahwa Beliau adalah sosok yang cerdas
dan cepat belajar.
Seiring
dengan menyebarnya agama Islam ke berbagai belahan dunia sejak Nabi Muhammad
SAW hijrah ke Madinah sekitar tahun 622 M, muncullah para pengumpul dan
penghafal mushafAl-Qur’an
dan hadist seperti para sahabat Nabi, Abu Hurairah, imam bukhari-muslim, dan
ahli hadist lainnya. Saat itu Islam benar-benar mencapai puncak kejayaannya.
Hal ini disebabkan karena penyebaran agama Islam selain dilakukan secara damai,
melalui akhlaqul karimah,juga
karena Nabi Muhammad SAW menekankan pentingnya pendidikan untuk melepaskan
manusia dari kebodohan (jahiliyah), karena kebodohan dapat menjerumuskan
manusia pada kerusakan di muka bumi.
Islam adalah
agama anti kebodohan. Pada sebuah kisah diceritakan, setelah terjadinya perang
Badar, ada 70 orang Quraisy Mekkah menjadi tawanan, mereka akan dibebaskan jika
bersedia menjadi guru bagi sepuluh orang anak dan orang dewasa Madinah.
Akhirnya, 700 orang terbebas dari buta huruf. Ibarat sistem Multiple Level
Marketing (MLM), mereka pun diminta untuk menjadi guru bagi yang lain sehingga
seluruh penduduk madinah bebas dari buta huruf.
Dalam
perkembangannya, pasca runtuhnya kerajaan Islam terakhir di Granada Spanyol
tahun 1491 M, dan disambung dengan revolusi industri, banyak temuan-temuan
ilmuwan Islam yang justru diklaim dan dikembangkan oleh ilmuwan barat, apalagi
pasca terjadinya revolusi industri tahun 1750-1850. Revolusi Industri merupakan
periode terjadinya perubahan secara besar-besaran di bidang pertanian,
manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi serta memiliki dampak
yang mendalam terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di dunia. Revolusi
Industri dimulai dari Britania Raya dan kemudian menyebar ke seluruh
Eropa Barat, Amerika Utara, Jepang dan akhirnya ke seluruh dunia.
Pada masa revolusi Industri, teknologi barat berkembang pesat. Banyak temuan
yang dihasilkan seperti mesin uap, kapal uap, kapal kincir, mesin tenun, mesin
pemintal benang, teknologi mengolah bijih besi dan batu bara, baterai,
telegraf, telepon, mobil, hingga pesawat terbang. (Wikipedia).
Jika kita
berkaca kepada masa kejayaan Islam. Banyak Ilmuwan Islam yang berjasa dalam
pengembangan IPTEK antara lain: (1) Al Farabi (872-950 M) seorang ahli
filsafat, logika, matematika, ilmu alam, teologi, ilmu politik dan
kenegaraan, (2) Al Batani (858-929 M) ahli astronomi dan ahli matematika, (3)
Ibnu Sina (980-1037 M) ahli kedokteran, (4) Ibnu Batutah
(1304-1369) seorang pengembara dan pengarang kisah fiksi, (5) Ibnu Rusyd
(1126-1198 M) ahli filsafat, kedoteran, dan fiqih, (6) Muhammad Ibnu Musa Al
Khawarizmi (780-850 M) ahli matematika, astronomi, astrologi, dan geografi, (7)
Umar Khayyam (1048-1131 M) ahli matematika dan astronomi, (8) Tsabit bin
Qurrah (826-901) ahli matematika dan astronomi, (9) Muhammad bin Zakaria Al
Razy (825-925) ahli filsafat, kimia, matematika, sastra, dan kedokteran, dan
(10) Abu Musa Jabi Al Hayyan (722-804) ahli kimia.[1] Selain mereka, juga
banyak ilmuwan Islam yang lain yang ikut berjasa mengembangkan IPTEK di dunia
ini.
Mencari Ilmu, Melek Literasi
Mencari ilmu
adalah kewajiban bagi seorang muslim dan muslimah. Mencari ilmu diwajibkan
sejak seorang manusia lahir hingga meninggal dunia, dan umat Islam diwajibkan
mencari ilmu walau harus pergi ke negeri China. Hal tersebut menunjukkan bahwa
ajaran Islam mendorong umatnya agar menjadi manusia-manusia yang berilmu.
Dengan ilmu yang dimilikinya, mereka diharapkan dapat menjadi pelita bagi yang
lain, dan dapat beramal shaleh. Kebaikannya akan terus mengalir baik di dunia
maupun di akhirat, karena ajaran Islam berpesan bahwa sebaik-baiknya manusia
adalah yang paling bermanfaat bagi yang lain.
Dalam ajaran
Islam, orang yang beriman dan berilmu akan diangkat derajatnya. Dalam QS Al
Mujaadillah ayat 11 Allah SWT berfirman, “Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”.Lalu pada QS Az-Zumar ayat 9, Allah
SWT berfirman,“Katakanlah (wahai Muhammad) apakah sama orang-orang yang
mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat
menerima pelajaran.”
Selain
kewajiban mencari ilmu, Islam juga adalah agama yang memerintahkan untuk
memuliakan orang yang berilmu. Rasulullah SAW bersabda “Jadilah engkau orang
berilmu, atau orang yang menuntut ilmu, atau orang yang mau mendengarkan ilmu,
atau orang yang menyukai ilmu. Dan janganlah engkau menjadi orang yang kelima maka
kamu akan celaka” (HR. Baihaqi).
Rasulullah
SAW memerintahkan umatnya menjadi ‘Alim
(orang berilmu, guru, pengajar). Jika belum sanggup, jadilah Muta’allim (orang yang menuntut
ilmu, murid, pelajar, santri) atau menjadi pendengar yang baik (Mustami’an), paling tidak. menjadi
Muhibban atau pecinta
ilmu, simpatisan pengajian, donatur lembaga dakwah dan pendidikan dengan harta,
tenaga, atau pikiran, atau mendukung majelis-majelis ilmu. Dan Rasulullah
SAW menegaskan, jangan jadi orang kelima (Khomisan), yaitu tidak jadi guru, murid, pendengar,
juga tidak menjadi pendukung. Celakalah golongan kelima ini.
Indonesia
adalah negara yang jumlah penduduk muslimnya paling besar di dunia. Dari
sekitar 254,9 juta orang penduduk (Susenas BPS 2014-2015), diperkirakan sekitar
80 persen adalah muslim, dan sisanya adalah non muslim. Idealnya, Indonesia
harus menjadi negara yang mempelopori bahkan menjadi basis gerakan literasi di
dunia, mengingat wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah
suratIqrasebagai simbol perintah membaca yang merupakan salah satu bentuk
kemampuan literasi dasar, tetapi pada kenyataannya, justru negara-negara yang
mayoritas berpenduduk non muslim yang memiliki tingkat literasi yang tinggi. Literasi
adalah kemampuan dalam mengakses, memahami, dan menggunakan informasi secara
cerdas. Kemampuan membaca dan menulis merupakan literasi paling mendasar.
Organisasi
Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO
2012) mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Itu artinya,
pada setiap 1.000 orang hanya ada satu orang yang punya minat membaca.
Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Tidak
usah dibandingkan dengan Jepang dan Amerika yang rata-rata membaca 10-20 buku
pertahun. Jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan ASEAN, yang membaca
2-3 buku per tahun, kita pun masih sangat ketinggalan. (Kompas, 22/02/2016).
Hal tersebut
di atas perlu menjadi bahan bahan evaluasi sekaligus bahan refleksi bagi umat
Islam di Indonesia, hal apa yang menyebabkan umat Islam justru kualitas
literasinya kalah dengan bangsa lain yang mayoritas non muslim. Ketika
masyarakat Jepang lebih senang membaca buku ketika menunggu kereta di stasiun,
maka banyak masyarakat Indonesia yang lebih asyik memainkan gadget¸online, atau chatting,walau mungkin saja ada
diantaranya yang membaca e-book
atau berita dari media Online.
Membaca
adalah simbol peradaban sebuah bangsa yang haus akan ilmu pengetahuan. Membaca
adalah simbol bangsa yang modern dan memiliki peradaban tinggi, bangsa yang
masyarakatnya mau terus menghasilkan kreativitas dan inovasi baru.
Islam sebagai
agama yang sangat memperhatikan pendidikan dan khususnya literasi memacu kepada
umatnya untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, selalu menfaatkan waktu, dan
jangan termasuk orang merugi. Dalam Islam ada ungkapan"Barangsiapa yang
hari ini lebih baik dari kemarin, maka dia termasuk orang yang beruntung.
Barangsiapa yang hari ini sama (dengan kemarin) maka dia telah lalai (merugi),
barangsiapa yang hari ini lebih buruk dari kemarin maka dia terlaknat
(binasa)." Berdasarkan kepada hal tersebut, mari kita
menjadikan ajaran Islam sebagai dasar atau semangat untuk membangun dan
menggerakkan budaya literasi untuk meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik
di masa yang akan datang. Umat Islam harus menjadi pelopor, bukan pengekor. Wallaahu A’lam
Sumber:
https://www.kompasiana.com/idrisapandi/573931c0117b61f6043ccf96/islam-dan-budaya-literasi?page=all
0 komentar:
Posting Komentar