![]() |
Sumber Gambar: tirto.id |
Menyerupai Suatu Kaum:
Hadits,
Konteks Budaya, dan Tahun Baru 2019
Dalam hukum Islam ada kaidah al-‘adah muhakkamah. Tradisi yang tak
bertentangan langsung dengan pokok-pokok akidah bisa diakui dan diakomodir
dalam praktik maupun ekspresi keislaman kita. Kaidah ini membuat Islam bisa
menerima berbagai budaya tanpa harus kehilangan identitas keislaman kita.
Hanya dengan satu hadits ini, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka
dia termasuk bagian dari mereka” (HR Abu Daud dan Ahmad), banyak ustaz yang
lantang mengharamkan hampir semua aspek kehidupan kita saat ini. Bagaimana cara
kita memahami hadits ini dalam tinjauan ilmu hadits, sejarah, politik dan
budaya?
Berbeda dengan imajinasi pihak tertentu, dari mulai Prof Samuel
Huntington sampai emak-emak yang hobi main medsos, yang membayangkan terjadinya
benturan budaya, sesungguhnya peradaban manusia dibangun lewat perjumpaan dan
percampuran berbagai budaya di dunia ini. Dari mulai bahasa, pakaian, makanan,
karya seni, teknologi sampai olahraga terdapat titik-titik kesamaan yang
kemudian bila dilacak ke belakang kita akan kesukaran menentukan identitas asli
tradisi tersebut.
Ambil contoh, memakan dengan sumpit. Kawan bule saya keheranan saya tidak
bisa menggunakan sumpit padahal sudah 20 tahun lebih tinggal di Australia.
Ganti saya yang keheranan ketika sumpit dihubungkan dengan tradisi Australia.
Bukannya ini berasal dari Cina? Kawan bule saya dengan santai bilang: “Aslinya
sih begitu, tetapi semua anak Ausie tahu cara pakai sumpit.”
Saya beri satu contoh umum lagi, sebelum kita masuki contoh yang
kontroversial. Sepak bola modern berasal dari Inggris. Paling tidak itu kata
kawan saya yang penggemar berat Arsenal. Tapi ternyata olahraga ini punya
sejarah panjang dari mulai permainan cuju di Cina, sampai permainan epyskiros
di Yunani.
Dan kini setiap menyebut sepak bola, dunia tidak lagi mengingat pemain
Inggris, Cina atau Yunani, tetapi Messi dari Argentina dan Ronaldo dari
Portugal (keduanya bermain di Liga Spanyol). Dan saya menduga baik Messi maupun
Ronaldo juga tidak keberatan makan dengan sumpit.
Nah, bisakah hanya gara-gara makan dengan sumpit atau menjadi penggemar
bola, Anda kemudian dianggap bagian dari mereka? “Mereka” itu siapa? Itu saja
tidak jelas karena untuk sampai kepada “mereka”, perjalanan sumpit dan sepak
bola itu panjang melintasi benua dan samudera. Tapi bukankah sebagai orang
Jawa, Sunda, Bugis atau Ambon Anda tetap tidak merasa kehilangan kejawaan,
kesundaan, kebugisan atau keambonan Anda hanya karena makan mie pangsit dengan
sumpit atau mengoleksi berbagai atribut Real Madrid atau Barca? Lantas
apa maksud hadits di atas? Saya dulu pernah menjelaskan soal politik identitas.
Saya kutip sebagian:
Pada masa Nabi Muhammad hidup lima belas abad yang lampau, identitas
keislaman menjadi sesuatu yang sangat penting. Tapi bagaimana membedakan antara
Muslim dengan non-Muslim saat itu? Bukankah mereka sama-sama orang Arab yang
punya tradisi yang sama, bahasa yang sama bahkan juga berpakaian yang sama?
Untuk komunitas yang baru berkembang, loyalitas ditentukan oleh identitas
pembeda.
Pernah pada suatu waktu, orang kafir menyatakan masuk Islam di pagi hari,
dan kemudian duduk berkumpul bersama-sama komunitas membicarakan strategi
dakwah, tapi di sore hari orang itu menyatakan dia kembali kafir lagi. Maka,
murkalah Nabi. Tindakan itu dianggap sebuah pengkhianatan terhadap loyalitas
komunal. Di sini muncullah hukuman mati terhadap orang murtad, yang di abad
modern ini mirip dengan hukuman terhadap pengkhianat dan pembocor rahasia
negara.
Mulailah Nabi Muhammad melakukan konsolidasi internal: loyalitas
dibentengi dengan identitas khusus. Nabi melakukan politik identitas: umat
Islam dilarang menyerupai kaum Yahudi, Nasrani, Musyrik bahkan Majusi. Maka,
keluarlah aturan pembeda identitas dari soal kumis-jenggot, sepatu-sendal, dan
warna pakaian. Pesannya simpel: berbedalah dengan mereka. Jangan menyerupai
mereka, karena barang siapa yang menyerupai mereka, maka kalian sudah sama
dengan mereka.
Inilah konteks hadits di atas: politik identitas dari Nabi untuk
komunitas Islam saat itu. Nah, para ustaz jaman now yang gemar mengutip hadits tasyabuh
ini sebenarnya juga hendak mengukuhkan identitas keislaman kita bahwa kita
berbeda dengan “mereka”. Namun para ustaz lupa bahwa kita tidak lagi hidup di
komunitas terbatas seperti perkampungan Madinah 15 abad lalu.
Kita sekarang sudah menjadi citizen of the world (warga dunia).
Kondisi sudah berubah, identitas keislaman tidak akan tergerus oleh pembeda
yang berupa asesoris semata. Identitas keislaman saat ini adalah akhlak yang
mulia.
Secara sanad, hadits di atas juga tidak diriwayatkan oleh dua kitab
utama, Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Para ulama hadits juga berbeda menentukan
derajat hadits itu. Ada yang mensahihkan, ada yang memandang hadits itu hasan,
bahkan ada pula yang mendhaifkannya. Bagi yang mengkritik perawi hadits di
atas, mereka misalnya menemukan persoalan pada Abdurrahman bin Tsabit bin
Tsauban.
Ahmad bin Hanbal mengatakan hadits yg diriwayatkan perawi ini munkar. Abu
Dawud mengatakan tidak mengapa dengannya. An-Nasa’i mengatakan dha’if. Ibnu
Hajar menyimpulkan bahwa yang bersangkutan itu jujur, tapi sering keliru,
dianggap bermazhab Qadariyyah, dan berubah hapalannya di akhir usianya
Mengapa para ustaz tidak menjelaskan perbedaan status sanad hadits
ini dan juga konteks kemunculannya? Saya berbaik sangka para ustaz tidak punya
kesempatan yang cukup untuk menjelaskannya di video youtube mereka yang viral
itu. Wa Allahu A’lam.
Saya ingin sekali lagi menunjukkan betapa pentingnya memahami hadits
sesuai konteksnya. Misalnya ada riwayat:
“Berbedalah kalian dengan Yahudi, karena mereka salat tidak pakai sandal
dan sepatu” (HR Abu Daud).
Guru saya, Prof Dr KH Ali Mustafa Ya’qub, pernah
menjelaskan bahwa kondisi masjid di zaman Nabi itu tidak pakai lantai. Hanya
beralaskan tanah atau pasir. Maka, kita paham konteksnya. Bayangkan kalau
hadits ini sekarang kita pakai apa adanya dan kita masuk masjid dengan sandal
dan sepatu. Kita akan diteriakin bahkan mungkin dianggap penista
Islam. Itulah gunanya memahami konteks hadits.
Yang dulunya diwajibkan, malah bisa dilarang, ketika konteksnya berubah.
Abu Yusuf, murid utama Imam Abu Hanifah, dengan cerdas mengeluarkan kaidah:
“Jika suatu nash muncul dilatarbelakangi sebuah tradisi, dan kemudian tradisi
itu berubah, maka pemahaman kita terhadap nash itu juga berubah.”
Di samping itu, tidak benar kalau Rasulullah selalu hendak berbeda dengan
kaum non-Muslim. Misalnya HR Bukhari-Muslim ini:
“Nabi SAW tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi
berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab :
”Sebuah hari yang baik, ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan bani Israil
dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur. Maka,
beliau Rasulullah menjawab : ”Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian
(Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami
terhadap hari itu.”
Saya sudah jelaskan bahwa cara berpakaian orang Arab baik Muslim maupun
non-Muslim saat itu serupa, maka penanda yang tampak seperti tampak di wajah
itu menjadi penting bagi identitas keislaman pada saat itu seperti riwayat ini:
“Selisilah orang-orang musyrik. Potong pendeklah kumis dan biarkanlah
jenggot.” (HR Muslim).
Tapi bagaimana dengan model sisiran? Ternyata Nabi tidak menyelisihi
non-Muslim. Kenapa? Karena rambut tertutup sorban sehingga apa pun model
sisiran rambut tidak akan menjadi penanda identitas. Perhatikan riwayat ini:
“Dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah dahulunya menyisir rambut beliau ke
arah depan hingga kening, sedangkan orang-orang musyrik menyisir rambutnya ke
bagian kiri-kanan kepala mereka, sementara itu Ahlul Kitab menyisir rambut
mereka ke kening. Rupanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih suka
bila bersesuaian dengan apa yang dilakukan oleh Ahlul Kitab dalam perkara yang
tidak ada perintahnya. Namun kemudian hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menyisiri rambutnya ke arah kanan-kiri kepala beliau”. (HR Bukhari)
Nah, kalau kita memahami teks riwayat di atas secara apa adanya, apa kita
berani mengatakan bahwa Rasulullah serupa dengan non-Muslim dan telah menjadi
bagian dari mereka hanya karena model sisirannya sama? Yang heboh nanti sobat
saya, Kang Maman Suherman, yang plontos itu. Dia akan bingung mau nyisir model
apa biar gak dianggap kafir!
Begitu juga soal jenggot dan kumis, kini tidak lagi menjadi satu-satunya
pembeda antara identitas Muslim dengan non-Muslim. Banyak selebriti yang
sekarang memelihara jenggot dan tidak berkumis, begitu juga para tokoh
non-Muslim yang juga seperti itu. Apa mereka menjadi Muslim atau kita yang menjadi kafir gegara punya jenggot?
Sekarang bagaimana dengan perayaan tahun baru? Bagaimana dengan perayaan
Valentine? Bagaimana dengan ucapan selamat hari ibu, selamat ulang tahun,
selamat atas wisuda, selamat atas promosi jabatan? Bagaimana kalau kita pakai
celana jeans, atau dasi dan jas?
Untuk perempuan, tahukah Anda sejarah bra? Zaman Rasul gak ada muslimah
yang pakai bra, itu tradisi Eropa abad ke-18. Bolehkah Anda sekarang pakai bra?
Untuk yang lelaki, bagaimana kalau kita pakai topi cowboy atau topi ulang
tahun, atau topi santa?
Saya sudah jelaskan konteks hadits tasyabuh dan dikaitkan dengan hadits
lain serta pemahaman kita akan interaksi berbagai budaya di dunia. Kembali ke
contoh awal di tulisan saya ini, apa Anda lantas merasa jadi kafir hanya karena
makan dengan sumpit dan menonton atau ikut bermain sepak bola?
Dalam tradisi hukum Islam dikenal kaidah al-‘adah muhakkamah.
Tradisi yang tidak bertentangan langsung dengan pokok-pokok akidah itu bisa
diakui dan diakomodir dalam praktik maupun ekspresi keislaman kita. Kaidah ini
membuat Islam bisa menerima berbagai budaya tanpa harus kehilangan identitas
keislaman kita. Itu pula yang dilakukan Walisongo saat
mengakomodir budaya dan tradisi Nusantara.
Saya tidak ingin memberi fatwa boleh atau tidaknya merayakan ini dan itu,
boleh tidaknya memakai ini dan itu. Anda putuskan sendiri saja. Semoga
penjelasan saya ini cukup menjadi bahan pertimbangan Anda. Hidup ini pilihan.
Selamat memilih, dan Selamat Tahun Baru 2019!
Sumber:
Nadirysah Hosen (Rais
Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand, Dosen Senior Monash Law
School)
0 komentar:
Posting Komentar