![]() |
Sumber gambar: jembermu.com |
Sepintas
kritik sanad sudah cukup untuk menilai shahih tidaknya sebuah
hadits, sebab periwayatan seorang periwayat tsiqah dari periwayat tsiqah
lainnya, yakni dari awal sampai akhir sanad, mengandung arti bahwa kita
mempercayai keshahihan riwayat para periwayat tsiqah itu. Jika
tidak demikian, maka penilaian tsiqah terhadap para periwayat tidak ada
artinya.
Kritik
sanad memang cukup, tetapi bersifat elementer saja, sebab setelah
dilakukan kajian terhadap priode periwayatan, di mana hadis-hadis beralih dari
seorang periwayat ke periwayat lain sampai ke tangan para penulis kitab hadis (mukharrij),
ada dua fenomena yang mencolok, yaitu fenomena pemalsuan hadits dan fenomena
kekeliruan para periwayat. Yang pertama lahir dari kesengajaan, yang kedua dari
ketidaksengajaan.
Menurut
hasil penelitian Al Adlabi, tuduhan bahwa Ulama mendahulukan kritik sanad ada
benarnya, dan bahkan memiliki rasionalitas tersendiri. Namun demikian dalam
mempraktikkan kritik sanad, ternyata ulama hadits juga menggunakan
kritik matan, yakni ketika mereka memberi penilaian terhadap seorang
periwayat melalui kritik terhadap riwayat-riwayatnya. Demikian pula ketika
mereka mengkaji istilah-istilah teknis (al musthalahat). Walaupun
sebagian besar istilah-istilsh teknis itu terfokus pada sanad, tetapi ada sejumlah
istilah teknis yang memperhatikan kritik matan, seperti pembahasan tentang
hadis syadz, hadis munkar, hadis mu’allal, hadits mudltharib,
hadits mudraj, dan hadits maqlub.
Isu
sentral yang terkandung dalam tugas uas ini ada empat kriteria dalam mempraktikkan
kritik matan sekaligus penjelasan latar belakang pemalsuan hadits dan
kritik matan pada masa sahabat. Empat kriteria itu yakni pertama, matan
yang bersangkutan tidak bertentangan dengan Al Qur’an. Kedua, tidak
bertentangan dengan hadits dan sirah nabawiyah yang telah diterima
secara luas kebenarannya. Ketiga, tidak bertentangan dengan akal, indra,
dan fakta sejarah. Dan keempat, mirip dengan sabda kenabian. Tampaknya
memang sederhana, tetapi diperlukan kecermatan dan kehati-hatian dalam mempraktikannya,
agar orang tidak dengan mudah membuang suatu hadits hanya karena bertentangan
dengan Al Qur’an, hadits, sirah nabawiyah, akal, indera atau fakta
sejarah, tetapi penilaian bertentangan itu belum melalui penilaian yang cermat.
Karena itu, dalam membahas masing-masing kriteria beserta turunannya, Al Adlabi
juga menyertakan contoh praktiknya. Berikut kami sajikan link unduhan tugas UAS
tentang hal di atas. Semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar