![]() |
Sumber gambar: mediaindonesia.com |
Baru
saja bulan Ramadhan meninggalkan kita. Kenangan akan bulan Ramadhan yang penuh
berkah dan maghfirah. Ketika itu sebagian kita mungkin mampu melakukan shalat
malam hampir setiap perguliran hari. Mampu bangun di waktu sahur menyongsong
fajar. Ketika diantara kita ternyata bisa menyempatkan diri shalat berjamaah di
masjid, lebih banyak ketimbang di bulan-bulan sebelumnya. Mampu lebih
memperhatikan masalah keakhiratan, dan hadir di majlis dzikir. Mampu berinfak
dan bersedekah lebih banyak. Mampu lebih banyak berdzikir dan membaca Al
Qur’an. Mampu memelihara lidah, memelihara nafsu dan memelihara diri dari dosa.
Bagaimana
dengan kita ketika itu? kita telah berusaha mengisi Ramadhan tersebut dengan
amaliyah seperti yang di atas. Tetapi, kita tahu banyak sekali kekurangan kita.
Kemalasan kita lebih banyak dari ketaatan kita. Kealpaan kita lebih besar dari
dzikir. Lidah-lidah kita lebih banyak bergunjing, memaki, atau mengeluarkan
kata-kata yang tidak patut ketimbang membaca Al Qur’an, menyebut asma Allah,
atau menghibur hamba-hamba-Nya. Telinga kita, mata kita, lebih banyak digunakan
dalam kerangka yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Seluruh anggota badan
kita lebih cepat memenuhi perintah hawa nafsu daripada menjemput panggilan
Allah swt. meski ketika itu kita berada di bulan penuh rahmat dan maghfirah.
Bagaimanapun
sekarang rahmat dan ampunan itu telah lewat. Bulan turunnya Al Qur’an yang
penuh barakah dan limpahan pahala itu telah pergi. Meninggalkan kita di sini,
memulai hari demi hari sendiri. Semoga Allah swt senantiasa menghimpun diri
kita dalam kasih sayang-Nya. Jangan tinggalkan rutinitas yang pernah kita
istiqamahkan di bulan Ramadhan. Sebab, perbedaan antara orang shadiq
(benar) dengan orang kadzib (pembohong) menurut Imam Athaillah Al
Askandary dalam kitab Al Hikam adalah, “Apabila engkau ingin mengetahui
perbedaan antara shadiq dan kadzib maka lihatlah ciri-cirinya.
Ciri orang yang shadiq adalah ia beramal terus menerus karena Allah swt dalam
berbagai situasi dan kondisi. Sementara orang yang kadzib beramal satu dua
hari, lalu jika berduyun-duyun orang datang menyambutnya maka ia teruskan
amalnya. Tapi jika tidak, ia pun meninggalkan amalnya”
Mari
kita senantiasa bersyukur atas limpahan rahmat dan pertolongan Allah swt kepada
kita hingga saat ini. Kita berusaha memiliki bekal dan mengendalikan nafsu
makan dan minum selama satu bulan. Tujuannya tentu tidak lain agar menjadi
pribadi yang bertakwa secara lahiriyah dan batiniyah.
Orang
yang terbiasa lapar akan bisa mengatur nafsu makan dan minumnya. Sementara
ketidakmampuan mengendalikan nafsu makan dan minum, banyak orang melakukan
kemaksiatan dan dosa. Kita juga telah berusaha mengendalikan nafsu istirahat
tidur. Tujuannya, bukan agar kita sedikit atau bahkan tidak tidur, namun agar
kita mampu mengatur tidur sehingga tidak dikalahkan oleh rasa kantuk saat
menjalankan kewajiban. “Membiasakan diri untuk tidak tidur bukan tujuan, tapi
agar orang bisa menguasai dan mengendalikan tidurnya sehingga ketika menunaikan
kewajiban tidak dilalaikan oleh tidurnya” demikian ujar Ibnu Athaillah.
Terkadang,
ada orang yang jarang tidur tapi ternyata ia tak mampu bangun shalat shubuh di
awal waktu. Tidak dapat mampu bangun sebelum fajar untuk beristighfar dan
tahajud. Kita juga telah berusaha mengendalikan nafsu syahwat di bulan Ramadhan.
Bukan untuk menghilangkan nafsu syahwat, namun agar dalam diri kita muncul
kemampuan mengontrol dan menahan nafsu syahwatt. Sebab ketidakmampuan
mengontrol dan mengendalikan nafsu syahwat telah banyak menjerumuskan orang ke
dalam perzinaan. Naudzubillah..
Berdoalah
seraya sembari memperbanyak doa. Kita sangat membutuhkan peran Allah swt supaya
diberi kekuatan dalam menjalani ini semua. Sejauh mana kadar perasaan kita
dalam membutuhkan Allah, sejauh itulah jenjang kedekatan kita kepada-Nya.
Perasaan butuh kepada Allah swt bergerak pararel dengan jenjang kedekatan
seorang hamba kepada-Nya. Setiap kali rasa fakir dan kebutuhan kepada Allah
semakin kuat, setiap itu pula bertambah perasaan kita terhadap makna Laa
Haula wala quwwata illaa billahil ‘aliyyil ‘adzim. Tidak ada daya upaya
untuk menghindar maksiat terhadap Allah kecuali dengan pertolongan-Nya. Tidak
ada daya untuk tetap taat kepada Allah kecuali dengan pertolongan-Nya. Tidak
ada gerak, tidak ada diam kecuali dengan pertolongan-Nya.
Mari
lebih mendekat kepada Allah swt dengan memperbanyak doa. Doa adalah bentuk
praktis dari rasa membutuhkan. Doa adalah suasana jiwa paling puncak dari
seseorang yang meyakini bahwa Allah Maha Kaya dan Maha Pemberi Yang Menguasai.
Bukankah ibadah shalat laksana seluruhnya berisi doa? Hanya Allah sajalah yang
bisa membimbing dan memberi kekuatan batin untuk kita sehingga tetap sabar
menunaikan berbagai kewajiban dalam hidup.
“Ya
Allah, para pengemis tengah berhenti di pintu-Mu. Orang-orang fakir tengah
berlindung di hadapan-Mu. Perahu orang miskin tengah berlabuh pada tepian
lautan kemurahan-Mu dan keluasan Mu, berharap dapat singgah di halaman kasih-Mu
dan anugerah-Mu. Tuhanku, jika di bulan mulia ini. Engkau hanya menyayangi
orang yang menjalankan puasa dan shalat malamnya dengan penuh keikhlasan, maka
siapa lagi yang akan menyayangi pendosa yang kurang beribadah, yang tenggelam
dalam lautan dosa dan kemaksiatan”.
Kendali
hawa nafsu yang pernah kita upayakan untuk memilikinya jangan dilepas. Hawa
nafsu itu ada kendalinya, jangan biarkan dia lepas dengan liar kembali.
Ingatlah selalu perkataan seorang salafus shalih “Pangkal segala maksiat,
kelalaian dan syahwat adalah ridha terhadap nafsu. Sedangkan sumber ketaatan,
kesadaran dan meninggalkan hal-hal yang dilarang adalah tidak adanya keridhaan
terhadap nafsu”.
0 komentar:
Posting Komentar