![]() |
Prof. Dr. KH. Ahamd Zahro, MA saat mengisi seminar Nasional UPTQ 2018 |
Sejujurnya
penulis mendapati kesulitan ketika harus secara khusus berbicara tentang
kearifan lokal perspektif Al-Qur’an, sebab dalam persepsi penulis sejak mula,
bahwa Al-Qur’an itu diproyeksikan untuk semesta alam, dan penerima wahyu
Al-Qur’an, Rasulullah SAW, diutus untuk sekalian alam (Saba 28) dan sebagai
Rasul rahmatan lil ‘alamin (al-Anbiya 107). Bahwa Al-Qur’an menawarkan
nilai-nilai lokal, memang benar, tetapi nilai asasi Al-Qur’an adalah bersifat
holistik, global dan semesta. Oleh karena itu, dalam paparan ini penulis akan
membahas globalitas dan lokalitas Al-Qur’an, dalam perspektif yang mungkin
berbeda dengan persepsi umum.
Perlukah Al-Qur’an
Secara
realistis kita harus siap menerima pertanyaan: Perlukah Al-Qur’an pada era
globalisasi saat ini, sementara kita saksikan hampir semua negara yang
penduduknya berkitab suci Al-Qur’an (beragama Islam) adalah bangsa terbelakang.
Sebaliknya, negara-negara yang dalam menapaki kehidupan tidak berpedoman pada
Al-Qur’an, bahkan tidak tahu-menahu tentang Al-Qur’an, justru tergolong bangsa
maju. Lihat saja Amerika, Eropa (Barat), Jepang, Korea Selatan, Taiwan,
Hongkong, Singapura dan Australia. Mereka dapat dikatakan jauh dari Al-Qur’an,
tetapi justru jauh lebih sejahtera dibanding umumnya “negara-negara Islam”.
Kalau begitu masih perlukah Al-Qur’an?
Untuk
kepentingan kesejahteraan duniawi semata bisa saja tanpa bimbingan Al-Qur’an.
Tetapi guna keselamatan duniawi apalagi demi keselamatan ukhrawi, mutlak
dibutuhkan Al-Qur’an. Siapa yang berani menjamin seseorang dapat selamat
dunia-akhirat tanpa Al-Qur’an? Persoalannya sekarang mana yang kita
prioritaskan, kesejahteraan atau keselamatan? Dengan Al-Qur’an keselamatan
pasti didapat bahkan boleh jadi juga kesejahteraan, tetapi tanpa Al-Qur’an
keselamatan pasti tidak didapat, walaupun mungkin kesejahteraan diperolehnya.
Pertanyaan
sejenis pernah muncul beberapa dekade lalu “Mengapa umat Islam mundur,
sementara bangsa non muslim maju?” Menjawab pertanyaan ini Amir Syakib Arsalan
secara panjang lebar menjelaskan yang pada intinya umat Islam saat ini
terbelakang justru karena mereka meninggalkan nilai-nilai Qur’aniy dan
berpikiran jumud (beku/stagnan) dalam memahaminya. Hal ini terbukti bahwa Islam
pernah mengalami masa keemasan, di saat Barat masih “gelap dan terbelakang”,
justru tatkala umat Islam dapat memahami dan mau berpegang teguh pada
Al-Qur’an.
Al-Qur’an Yang Mana
Berdasarkan
ayat 9 surat al-Hijr, Allah SWT. memang menjamin kemurnian Al-Qur’an dengan
fiman-Nya: “Sungguh Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sungguh Kami
benar-benar memeliharanya.” Namun dalam tataran historis-empiris banyak ragam
mush-haf selain yang ada di kalangan kita, seperti mush-haf Ibnu Mas‘ud,
mush-haf Ibnu Abbas, mush-haf Kufiy, dan lain-lain yang ternyata tidak sama
dengan mush-haf Al-Qur’an seperti yang kita kenal. Lalu mana yang asli? Mana
pula yang tidak asli? Yang disepakati sebagai Al-Qur’an adalah yang sampai
kepada kita melalui periwayatan secara mutawatir (disetujui orang banyak),
sehingga manakala ada mush-haf “Al-Qur’an” yang tidak demikian (tidak
mutawatir) berarti bukanlah Al-Qur’an kita. Ternyata dengan standar ini, hanya
ada satu mush-haf yang mutawatir dengan dua istilah, yaitu mushaf ‘Utsmaniy
(bagi kalangan Sunniy) dan mushaf ‘Aliy (bagi golongan Syi‘iy). Dengan
demikian mushaf Ibnu Mas‘ud, mushaf Ibnu Abbas, mush-haf Kufiy dan
sebagainya bukanlah mushaf Al-Qur’an yang kita akui, karena tidak mutawatir.
Memang
banyak sekali upaya dengan berbagai cara untuk menimbulkan keraguan umat Islam
atas otentisitas (keaslian) Al-Qur’an, sebagaimana kitab suci umat agama lain
yang tak tahan uji tentang otentisitasnya. Data yang diperoleh Khulqi Rashid
dalam bukunya Al-Qur’an Bukan Davinci's Code menyebutkan, bahwa karya yang
meragukan otentisitas Al-Qur’an muncul pertama kali dalam tulisan Patricia
Crone dan Michael Cook (1977) berjudul Hagarism: The Making of the Islamic World
yang mempertanyakan segala sesuatu yang diyakini umat Islam sebagai kebenaran
sejarah. Menurut buku ini, Al-Qur’an tersusun di Syria atau Irak lebih dari 50
tahun setelah Nabi wafat. Toby Lester dalam tulisannya What is the Koran? yang
dimuat di jurnal The Atlantic Monthly (1999) juga secara spekulatif
mempertanyakan otentisitas Al-Qur’an. Demikian juga Christoph Luxenberg dalam
bukunya Die Syro-Aramaesche Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschluesselung
der Koranprache (Qira'ah Syria-Aramaic: Upaya Menjelaskan Bahasa
Al-Qur’an) menyebutkan, bahwa bahasa yang dipakai pertamakali oleh Al-Qur’an
bukanlah bahasa Arab, melainkan bahasa Aramia.
Padahal
secara historis, sejak awal diturunkannya, Al-Qur’an sudah melewati
pemeliharaan amat ketat. Di samping penggunaan penulisan sebagai strategi
pemeliharaan, para sahabat juga menghafalkan setiap ayat yang diturunkan kepada
Nabi. Hafalan-hafalan itu terus dijaga melalui metode evaluasi dengan sahabat
yang lain, di samping mencocokkannya dengan ayat-ayat yang telah berbentuk
tulisan. Lebih dari itu, hafalan dan penulisan ini secara amat akurat terus
berlangsung sampai sekarang, dan insya Allah sampai hari kiamat.
Kemu’jizatan Al-Qur’an
Di
mana letak kemu’jizatan (kehebatan) Al-Qur’an yang katanya tak tertandingi,
sehingga dahulu para kafir quraisy yang mendustakannya justru mencuri dengar
guna menikmatinya, bahkan mereka tak sanggup menggambarkan keindahan bahasanya
sehingga menganggapnya sebagai sihir Muhammad. Kini hampir tiada lagi orang
yang terharu tatkala mendengar Al-Qur’an dibaca, justru banyak yang acuh bahkan
bergurau.
Sementara
dari segi isinya selalu terlambat difahami oleh umat Islam masa kini manakala
merespon (mereaksi) temuan-temuan baru yang berkait dengan iptek (ilmu
pengetahuan dan teknologi). Uniknya, justru para “penemunya” sebagian besar
non-muslim, yang kemudian sebagian masuk Islam karenanya, seperti:
Pertama,
Dr. Maurice Buchaille (dokter spesialis, Prancis) yang meneliti kebenaran
berita Al-Qur’an tentang sejarah para rasul. Dari penelitian tersebut
disimpulkan, bahwa Al-Qur’an sangat akurat menceritakan kisah para rasul, baik
urutan maupun kebenaran sejarahnya yang amat mustahil bila itu karangan/susunan
Muhammad yang justru seorang ummi (tidak pandai baca-tulis). Beliau menyatakan:
”Dalam Al-Qur’an, agama dan ilmu selalu dianggap sebagai saudara kembar”.
Kedua,
Jacques Cousteau (penyelam ulung, Prancis) mengatakan: “Saya bersaksi bahwa
Al-Qur’an benar-benar diwahyukan dari Allah. Ilmu pengetahuan kita saat ini
hanyalah mengekspresikan apa saja yang telah dinyatakan kepada manusia dalam
Al-Qur’an sejak 14 abad yang lalu”. Pernyataan itu dikemukakan setelah dengan
susah payah menemukan perpaduan apik antara empirik yang ditemukan di lapangan
dengan "teoritik unik" dalam Al-Qur’an. Setelah menyelam di dua selat
yang mempertemukan empat laut (teluk Aden yang mempertemukan Samudera Hindia
dan Laut Merah, dan selat Gibraltar yang mempertemukan Samudera Atlantik dan
Laut Tengah) ternyata airnya tidak mau saling bercampur seakan ada penyekat
antara keduanya. Keganjilan gejala alam yang menyedot energinya ini ditemukan
jawabnya di Al-Qur’an (atas saran) Dr. Maurice Buchaille) surat al-Furqan 53
yang maknanya "Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir
(berdampingan), yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan
Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalanginya", dan
ar-Rahman 19-20 yang maknanya "Dia membiarkan dua lautan mengalir yang
keduanya kemudian bertemu. Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh
masing-masing".
Ketiga,
Prof. DR. Ayrton Allison (Ketua Jurusan Nuklir Oxford University, Inggris) yang
menyatakan masuk Islam di depan peserta Konferensi Intelektual Muslim se dunia
di Kairo, Mesir pada tahun 1985. Hal ini dilakukan setelah lama merenung
kemudian mendapati hasil penelitian salah seorang asistenya (DR. M. Yahya
asy-Syarafiy) tentang perbedaan tidur dan mati, bahwa secara ilmiah tidur dan
mati itu hampir sama, hanya kalau tidur ruh yang keluar kembali lagi, sedang
kalau mati ruh yang keluar tak kembali. Hasil penelitian ini ternyata 100 %
cocok dengan statement Qur'aniy dalam surat az-Zumar 42 yang maknanya
"Allahlah yang memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa
(orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang
telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu
yang ditentukan. Sungguh pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan
Allah bagi mereka yang berfikir".
Keempat,
DR. Hartwigg Hirsfeld menyatakan: ”Kita tidak boleh terkejut mendapati, bahwa
Al-Qur’an adalah sumber ilmu pengetahuan. Segala hal yang berhubungan dengan
langit dan bumi, perdagangan dan pekerjaan, kehidupan manusia,
sebentar-sebentar disinggung, dan hal ini membangkitkan tumbuhnya
monograf-monograf yang memuat tafsir dari bagian-bagian kitab suci itu. Dalam
hal ini Al-Qur’an menimbulkan diskusi besar dan secara tidak langsung telah
menimbulkan perkembangan yang menakjubkan dari segala cabang ilmu pengetahuan”.
Kelima,
Prof. DR. Fuat Sezgin (guru besar di Frankfurt University, Jerman) yang
melakukan penelitian selama 30 tahun terhadap sekitar 1 juta manuskrip kuno
warisan Islam yang kemudian dituangkan dalam 20 jilid ensiklopedi, secara tegas
menyatakan, bahwa ilmu pengetahuan di Barat yang berkembang pesat saat ini
adalah jiplakan dari ilmu-ilmu Islam masa lalu.
Keenam,
DR. J.L.C. Wortman dan Prof. DR. Carrel (keduanya peneliti asal Amerika) yang
meneliti tentang asal kejadian manusia dan menemukan bahwa pada air kencing
perempuan hamil terdapat "zat" yang merupakan unsur minyak tanah; dan
hal ini tidak ditemukan pada air kencing perempuan yang tidak hamil. Sebagai
"counter" terhadap teori evolusi Charles Darwin, mereka menyatakan:
"Kita (manusia) benar-benar berasal dari tanah". Dan hanya
Al-Qur’anlah kitab suci yang berulang kali dan secara konsisten menyatakan,
bahwa manusia diciptakan (Allah SWT) dari tanah. Baca antara lain Alu 'Imran
59, al-A'raf 12, al-Hijr 28, as-Sajdah 7, Shad 76, ar- Rahman 14 dan lain-lain.
Di
samping uraian di atas, dapat dipastikan bahwa kemu'jizatan Al-Qur’an itu tetap
ada, setidaknya nampak pada tak tertandinginya bahasa Al-Qur’an, padahal
tantangan untuk membuat seperti Al-Qur’an (al-Isra' 88), atau 10 surat (Hud 13)
atau bahkan 1 surat saja (al-Baqarah 23) sudah diproklamirkan oleh Allah SWT
sejak lebih 1400 tahun silam. Ternyata sampai hari ini, apapun alasannya, tak
seorang/ sekelompok orang pun yang sanggup memenuhi tantangan tersebut.
Untuk Apa Al-Qur’an
Sebagai
kitab suci, Al-Qur’an bukanlah karya ilmiah semacam disertasi, bukan dokumen
resmi sejarah, dan bukan pula mantera ataupun jampi-jampi semata, tetapi
Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi manusia (hudan lin naas) pada
umumnya, dan bagi mereka yang bertaqwa (hudan lil muttaqiin) pada khususnya.
Sebagai
hudan lin naas, Al-Qur’an memiliki nilai-nilai universal yang diakui
kebenaran dan kebaikannya oleh seluruh masyarakat beradab dan membawa kebaikan
dalam hidup bermasyarakat, terutama mengenai prinsip kebebasan yang bertanggung
jawab, kesamaan yang "reasonable", keadilan yang jujur dan musyawarah
yang positif. Inilah antara lain nilai global universal Al-Qur’an.
Sedang
sebagai hudan lil muttaqiin, Al-Qur’an memiliki nilai-nilai sakral yang
membimbing ke arah keselamatan dunia dan akhirat, yaitu mengenai iman, Islam
dan ihsan (aqidah, syari‘ah dan akhlak). Inilah antara lain nilai “lokal
spesial” Al-Qur’an.
Perlukah Al-Qur’an Dihafalkan
Pertanyaan
lain yang cukup menggelitik adalah: perlukah Al-Qur’an dihafal sementara
kecanggihan teknologi elektronika dan informatika pada era globalisasi saat ini
dapat mengatasi apa yang menjadi andalan para huffadh (penghafal
Al-Qur’an), yaitu kecepatan dan kemudahan mencari ayat-ayat Al-Qur’an. Jawab
singkatnya, tetap diperlukan adanya para penghafal Al-Qur’an. Sebagau salah
satu upaya menjaga kemurnian dan bukti kemu'jizatan Al-Qur’an, penghafalan
Al-Qur’an tetap diperlukan, karena para penghafal Al-Qur’an lah yang diyakini
kokoh mental dan moralnya dalam ikut menjaga kehormatan Al-Qur’an.
Adapun
hal-hal yang harus menjadi perhatian para calon hafidh/hafidhah (hafidh:
penghafal Al-Qur’an pria, hafidhah: penghafal Al-Qur’an wanita), maupun
para hafidh/hafidhah adalah sebagai berikut
Niat
menghafal Al-Qur’an
1) Ikut menjaga
Al-Qur’an dan mensyi’arkannya.
2) Mempertinggi
frekuensi membaca Al-Qur’an.
3) Mempermudah
telaah ilmiah yang berkaitan dengan ilmu-ilmu ke-Islaman.
4) Mengendalikan
amaliah agar senantiasa sesuai dengan Al-Qur’an.
5) Mencari ridla
Allah SWT.
Dengan
demikian seorang hafidh dan/atau hafidhah adalah pengemban amanah
Al-Qur’an baik secara lisan, pemahaman, maupun perbuatan.
Problem
Menghafal Al-Qur’an
Bagaimana
supaya mudah dalam menghafal Al-Qur’an ? Seseorang akan mudah dalam menghafal
Al-Qur’an apabila terlebih dahulu memahami makna dan qawa‘id al-lughah
al-‘Arabiyyah yang ada dalam Al-Qur’an, dengan secara konsisten menggunakan
satu macam mush-haf pojok yang standar.
Bagaimana
supaya cepat dalam menghafal Al-Qur’an ? Untuk hal ini tidak ada pilihan
lain kecuali istiqamah dan disiplin. Cepat dalam menghafal memang baik, tapi
cepat-cepatan khatam sering menjadi belenggu tersendiri di kemudian hari.
Bagaimana
mengatasi godaan, baik godaan internal (nafsu menambah hafalan, malas dll),
maupun godaan eksternal (banyaknya kesibukan, pacaran dll) ?
1. Untuk nafsu
menambah hafalan: sadari bahwa diri anda mempunyai keterbatasan yang harus
dihargai. Karena itu, cara menghafal terbaik adalah per 5 juz, maksudnya
menghafal juz 1-5 dulu, baru setelah lancar menambah juz 6-10, kemudian kalau
sudah lancar menambah juz 11-15, lalu juz 16-20 dan begitu seterusnya.
2. Untuk malas:
ingatlah kembali niat anda menghafal Al-Qur’an, beri semangat persuasif kepada
diri anda sendiri agar mau bangkit lagi. Tidak ada obat malas lebih mujarab
dari tajdid an-niyyah (memperbarui niat).
3. Mengenai
banyaknya kesibukan: aturlah waktu, kuasai keadaan dan jangan larut dan
dikuasai oleh keadaan, tapi juga harus mampu mengukur kemampuan diri, jangan
sampai overaktif. Berilah diri anda kesempatan istirahat dan bahkan refreshing.
4. Mengenai
pacaran: sedapat mungkin dihindari. Namun bila tidak sanggup, berpacaranlah
secara Islami (jangan melanggar syariat Islam), karena pelanggaran terhadap
syari'at Islam akan menimbulkan dosa dan banyak dosa akan mengkibatkan
terganggunya hafalan.
Ingat
kata Imam Syafi’i dalam syi‘irnya:
شكوت الى وكيع
سوء حفظى فـارشدني الى تـرك المعا صــى
لان
الحفظ فـضـل من الـه وفضل الله لا يعـطى لعـا صى
“Saya pernah mengeluhkan lemahnya daya
ingat saya kepada syaikh Waki’. Beliau menasehati saya agar menghindari
perbuatan-perbuatan maksiat. Karena sesungguhnya daya ingat itu adalah
karunia dari Allah. Dan karunia Allah itu tidak akan diberikan kepada para
pelaku maksiat”.
Problem Menghafal Al-Qur’an
Bagaimana agar tidak mudah lupa ?
Jadikan
Al-Qur’an sebagai wirid (bacaan dzikir yang dilakukan secara rutin) dan
sebenarnyalah Al-Qur’an itu sebaik-baik wirid. Jangan percaya adanya wirid
tertentu untuk mempertahankan hafalan, kecuali do’a-do’a pendek yang tidak
menyita waktu untuk melakukan takrar/tadarrus.
Rasulullah
saw. bersabda:
تعا هدوا هذا
القران فوالذى نفس محمد بيده لهو اشد تفلتا من الا بل فى عقلها (متتفق عليه
عن ابي موسى)
Jagalah
Al-Qur’an ini; Demi Allah, dia (Al-Qur’an) lebih mudah lepas dibanding onta
yang diikat
انما مثل صا
حب القران كمثل الابل المعقلة ان عا هد عليها امسكها وان اطلقها ذهبت (متفق عليه
عن ابن عمر)
“Sungguh,
perumpamaan penghafal Al-Qur’an itu seperti onta yang terikat. Kalau dijaga
amanlah dia, tapi bila dibiarkan lenyaplah dia”.
Bagaimana menginternalisasikan Al-Qur’an ke dalam diri
kita?
Dari
aspek ilmiah: dekati dan pelajari, fahami dan hayati Al-Qur’an. Janganlah
seorang hafidh/hafidhah berhenti pada ‘sekedar’ hafal Al-Qur’an tanpa memahami
kandungannya. Jangan mau dikesankan, bahwa hafidh/ hafidhah itu hanya kuat
hafalannya saja, tapi lemah daya nalarnya. Janganlah hafidh/hafidhah kalah
dengan yang tidak hafal Al-Qur’an dalam hal pemahamannya. Seorang
hafidh/hafidhah harus seimbang antara dzikir dan fikirnya, hafalan dan
penalarannya.
Dari
aspek amaliah: sadarilah bahwa di dada hafidh/hafidhah itu terdapat
rekaman Al-Qur’an 30 juz yang diamanatkan oleh Allah SWT untuk menjaganya.
Dengan demikian penampilan seorang hafidh/hafidhah harus serba Qur’aniy dalam
hal tutur kata, tingkah laku dan daya fikirnya.
Dari
aspek bacaan: biasakan membacanya secara murattal (dengan kecepatan yang wajar
dan bacaan yang jelas), karena demikianlah semestinya Al-Qur’an dibaca, baik
menurut ayat-ayat Al-Qur’an sendiri (al-Furqan 32 dan al-Muzzammil 4) maupun
berdasarkan contoh dari Rasulullah SAW. Patuhilah ketentuan-ketentuan bacaan
yang benar, baik dan enak didengar, agar Al-Qur’an dapat dinikmati oleh pembaca
maupun pendengarnya.
Demikian
kristalisasi pemikiran ini. Semoga bermanfaat. Aaamiiin …
0 komentar:
Posting Komentar