 |
Sumber gambar: ruangmuslimah.co |
Perusahaan
atau kantor adalah sebuah lingkungan yang memiliki karakteristik terbuka dan
heterogen. Di dalamnya berisi orang-orang dengan kelas ekonomi, pengetahun, dan
perilaku yang berbeda-beda. Seorang wanita muslimah yang mengambil pilihan
berkarir, perlu pandai menempatkan diri di lingkungan ini. Berbeda dengan
lingkungan keluarga dimana wanita memiliki ruang kebebasan yang sama dengan
laki-laki, tapi di ruang public seperti ini, tentu kebebasan itu lebih
terbatasi.
Kaum
wanita layak lebih “cerewet” dalam menentukan criteria pekerjaan. Cerewet
maksudnya adalah betul-betul selektif dalam memilih pekerjaan. Islam telah
memberikan kebebasan kepada wanita untuk bekerja. Di zaman Nabi, ada banyak
wanita sahabiah yang ikut membantu mencari nafkah untuk keluarganya. Salah
satunya, kita mengenal Asma binti Abu Bakar yang berprofesi sebagai tukang
pencari kayu untuk dijual di pasar.
Sementara
kebebasan berkarir sudah diberikan, maka tinggal wanita muslimah menentukan
pilihan pekerjaan yang paling menghormati fitrah wanitanya. Memilih pekerjaan
yang sesuai, dimulai dari memperhatikan bagaimana perusahaan melihat wanita itu
sendiri. Maksudnya, seperti kita ketahui bahwa perusahaan hari ini tidak
semuanya membutuhkan karyawan wanita karena obyektif terhadap kapasitas
ilmunya. Wanita dibutuhkan bukan ilmu dan pengetahuannya. Tapi lebih pada
penampilannya. Kalau penampilan hanya menjadi salah satu criteria mungkin tidak
terlalu masalah. Yang masalah adalah kalau penampilan itu justru dipakai
sebagai komoditas untuk dijual.
Tentu
perusahaan yang merekrut dengan motif tersebut bukanlah pilihan terbaik bagi
seorang muslimah. Apabila tuntutan-tuntutan itu hanya berupa penampilan,
kecantikan wajah, kemolekan bersama yang memancing perhatian, maka tawaran itu
harus dibuang jauh-jauh. Berkarir dengan karakter pekerjaan seperti itu
sejatinya hanya akan merendahkan wanita itu sendiri. Coba jawab, apabila orang
tahu bahwa dirinya berada di pekerjaan tersebut tak lebih karena penampilannya
sedang menjadi komoditas daya tarik, adakah kebanggan yang bisa dibawa ke
rumahnya? Kehadapan suaminya atau anak-anaknya ?
Seorang
wanita mungkin justru senang dengan karakter pekerjaan demikian. Ya, itu
terserah mereka. Orientasinya memang sudah berbeda. Namun bagi wanita muslimah
yang ingin menetapi jalan yang diridhai Allah, akan tetapi kondisi mensyaratkan
ia harus bekerja, maka keduanya bisa dikompromikan dengan sebaik-baiknya. Insya
Allah, dengan keyakinan kepada Allah dan komitmen untuk menjadi pribadi
bertakwa, semuanya akan dimudahkan, seperti yang telah disampaikan Allah: “Dan
barang siapa yang bertawa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya.” (Q.S. At-Thalaq: 4)
Satu
hal yang meringankan adalah wanita tidak diwajibkan mencari nafkah. Sejatinya
nafkah itu adalah tanggungjawab laki-laki sebagai suami atau ayah. Kalaupun
wanita bekerja, itu hanyalah bersifat membantu suami. Karenanya bagi wanita
muslimah, uang bukanlah motivasi yang utama, msekipun itu tetap penting.
Namanya membantu, tentu tidak sama dengan yang memang menjadi kewajiban.
Wanita
harusnya tidak membabi buta dalam menentukan criteria pekerjaan. Suami atau
orang tua, juga harus ikut berperan dalam membantu wanita muslimah memilih
pekerjaan. Dia adalah mutiara yang harus terjaga di manapun ia berada. Ia harus
diberikan tempat dimana lingkungannya sangat menghargai kodrat wanitanya.
Pergaulannya harus baik. Pergaulan yang membuat suami merasa aman menitipkan
istrinya berhari-hari, berbulan-bulan bahkan bertahunan di lingkungan kantor
tersebut.
Jangan
hanya mengejar tingginya gaji lalu wanita muslimah tidak memperhatikan
kenyamanan lingkungannya. Mungkin saja bagi kaum laki-laki, mereka masih layak
bertahan meskipun lingkungan pergaulannya kurang baik. Asalkan pekerjaannya
halal, tidak ada celaan baginya ketika harus mempertahankan pekerjaan meski
lingkungan jauh dari kesholehan. Tapi wanita berbeda. Ia harus dijaga dan
dilindungi, tidak boleh diperdengarkan padanya perkataan tabu, tidak boleh
dipergaulkan kepadanya laki-laki yang tidak tahu batasan, tidak boleh
dipersentuhkan kepadanya kulit-kulit yang tidak halal, tidak boleh dituntutkan
kepadanya mengumbar-ngumbar daya tarik.
Wahai
suami, apakah yang menjadi kebanggan anda apabila disuruh bekerja di lingkungan
yang tidak mengahargai kewanitaannya ? apakah anda tidak malu makan dari harta
istri yang dipaksa melawan fitrahnya? Tidakkah sebaiknya kita mendengar dan
patuh terhadap ancaman keras dari Allah swt, “Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu, penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras,
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (Q.S. At-Tahrim: 6)
Allah
tidak membebani hambanya melebihi kemampuannya. Yakinlah bahwa rizki
sesungguhnya sudah djamin oleh Allah swt. Istri tak bekerja pun, sebenarnya
kalau kita yakin kepada Allah swt, rumah tangga kita tidak akan kekurangan.
Karena peran utama istri sebenarnya memang di rumah. Kalaupun dia harus keluar
rumah, sekali lagi boleh-boleh saja bahkan berpahala bila niatnya untuk
membantu keluarga. Lalu ketika mereka sudah beranjak keluar dari pintu
rumahnya, siapapun harus merasa bertanggungjawab untuk menjaganya, merawatnya
dan memuliakannya. Bagaimana kalau wanita itu sendiri yang tidak peduli? Nah,
inilah yang repot. Doakan saja semoga segera dapat hidayah.